Produk Line Harus Lengkap

KETIKA mengisi beberapa seminar atau pun in house training, muncul beberapa pertanyaan ‘Apakah product line harus lengkap? Mungkinkah kalau kami hanya menjual produk bedak atau lipstik saja?
Pendapat serupa juga sering dilontarkan oleh pengusaha jamu atau mungkin masih ada yang lain lagi. Apakah memang benar, bahwa product line itu selalu lengkap?
Secara tegas penulis berani menjawab pertanyaan tersebut, ‘Tidak selalu! Buktinya, Unilever sukses memasuki bisnis toiletries/ kosmetik tradisional, dengan hanya memasarkan Citra Hand & Body Lotion saja di awalnya.
Bahwasannya kita tidak boleh terus menjadi suatu single product company, tentu benar. Karena suatu single product company sangat berbahaya dan rawan karena konsumennya hanya satu atau satu segmen. Ini tentu berbahaya sekali. Sebab sekali pelanggan tersebut lepas, maka perusahaan akan langsung gulung tikar.
Jika perusahaan hanya memasarkan satu produk ini juga sangat riskan. Karena betapa pun hebatnya suatu produk, tidak ada yang omzetnya naik terus. Suatu ketika dia pasti akan mengalami titik jenuh, atau bahkan mengalami penurunan. Memang tidak semua produk akan mengalami penurunan, namun tahap kejenuhan pasti akan dialaminya.
Namun sebaliknya, terlalu lengkap atau terlalu banyak produk, juga tidak dianjurkan. Apalagi kalau perusahaan kita terlalu kecil. Terlalu banyak produk akan membuat perusahaan terjerumus dalam kesalahan spreading too thinly, di mana sumber dayanya terpecah pecah/terbagi-bagi untuk terlalu banyak produk. Sehingga akhirnya tidak ada produk yang berhasil. Karena sumber daya manusia, manajemen dan lain sebagainya, kurang konsentrasi atau terfokus.
OPTIMAL
Jadi jangan terjerumus dalam 2 titik ekstrem tadi, baik hanya mengandalkan satu produk, atau mempunyai terlalu banyak produk. Carilah titik optimal, atau jumlah produk yang pas. Tidak terlalu sedikit, tetapi juga tidak terlalu banyak.
Untuk menuju titik optimal tadi, perusahaan harus melakukan pengembangan produk baru, maupun product pruning/ mematikan produk produk tertentu. Pengembangan produk baru harus dilakukan dengan frekuensi yang cukup, serta selalu didukung oleh marketing budget yang cukup besar, agar peluang suksesnya lebih tinggi. Tetapi karena pemasaran itu bukan eksakta, maka pasti ada produk baru yang gagal. Nah, kalau suatu produk itu gagal, sehingga setelah suatu kurun waktu yang cukup lama, kontribusi penjualannya tetap kecil sekali, maka produk demikian ini perlu di-pruning.
Kita tidak perlu malu untuk melakukan product pruning, karena Unilever, IBM, Coca Cola dan perusahaan multinasional yang paling hebat sekalipun, pernah gagal. Di Indonesia saja Unilever pernah mematikan Pomade Erasmic, serta juga Elida Beauty Plan.Hanya dengan kombinasi pengembangan produk baru, plus pruning product, perusahaan bisa mempertahankan product line yang optimal.
Sayangnya, di sini banyak perusahaan yang seperti terlalu keberatan gengsi, untuk melakukan pruning product. Apalagi kalau harus menutup seluruh divisi. Padahal produk dengan kontribusi sales yang terlalu kecil sekali, hanya merepotkan semua pihak. Pabrik harus bekerja tidak efisien, karena setiap kali mesin harus distel untuk membuat produk yang begitu sedikit. Lalu salesman juga harus membawa produk yang begitu banyak dalam kanvasnya keluar kota. Belum lagi tempat yang harus disediakan dalam gudang, beserta segala kerepotannya. Lalu, tentu akan ada modal mati untuk menyediakan bahan bakunya, serta modal mati berupa piutang usaha yang biayanya cukup tinggi, karena produknya kurang laku. Dan jelas juga akan menyita waktu manajer kita sendiri!
PEDOMAN UMUM
Sebagai pedoman umum bisa dikatakan, bahwa perusahaan besar sebaiknya mempunyai product line yang relatif lengkap. Sedang perusahaan sedang dan kecil, sebaiknya mempunyai suatu limited product line. Alasannya, seperti sudah diketahui, adalah sumber daya yang terbatas untuk perusahaan kecil. Dengan suatu limited product line, maka akan lebih terjadi konsentrasi/fokus sehingga peluang berhasil juga akan lebih tinggi.
Karena itu kita melihat Toyota dan IBM, yang relatif lebih lengkap product line-nya. Toyota punya kelas sedan lux mulai dari Crown, Cressida, Corona, Corolla hingga Starlet. Mereka bahkan juga punya truk dan Kijang. Tetapi mereka tidak punya pick-up kelas 1.000 cc! Karena itu penulis sengaja menggunakan kata relatif lebih lengkap. Demikian juga IBM. Mereka mewakili dari supercomputer, minicomputer, hingga personal computer. Tetapi kembali lagi, IBM tidak membuat komputer yang berupa mainan anak kecil. Mungkin segmen yang terlalu bawah dipandang kurang menguntungkan untuk perusahaan sebesar Toyota dan IBM.
Sebaliknya, Honda dan Apple, lebih terbatas product line-nya. Di sini Honda dulu juga punya mobil pick-up atau Honda Life, yang sangat kecil itu. Tetapi kini mereka hanya main di Civic dan Accord. Begitu juga dengan Apple, yang hanya main di segmen personal computer. Dengan sumber daya yang jauh lebih terbatas, mereka ingin lebih mengonsentrasikan diri di satu-dua segmen saja.
Titik optimal itu terdiri dari berapa produk? Jawaban yang pasti dan eksakta tentu tidak ada, karena semua perusahaan punya karakteristik industri yang berbeda beda.
Namun titik optimal itu terdiri dari 3-5 produk, atau belasan, atau mungkin bahkan puluhan, dipengaruhi oleh beberapa faktor utama. Yang pertama tentu sumber daya keuangan perusahaan. Seberapa jauh kita bisa membiayai laju pertumbuhan perusahaan kita sendiri.
Yang kedua, tentu keadaan persaingan. Makin ketat persaingan, product line-nya harus makin terbatas. Ketiga, kemampuan perusahaan untuk menghasilkan produk yang lebih differentiated (unik), atau lebih baik. Kalau perusahaan mau membuat mobil pick up 1.000 cc, tentu harus ada differensiasi atau kelebihan yang signifikan. Sebab kalau produknya sama saja dengan pesaing, alias me-too, maka kemungkinan sukses akan tipis sekali.
Akhirnya, market size tentu ikut menentukan seberapa jauh titik optimal yang cocok itu. Kalau market besar sekali seperti untuk mobil, maka membuat Civic dan Accord saja sudah cukup. Sebaliknya, kalau market size-nya kecil, maka kita tentu membutuhkan lebih banyak produk.
Semoga jelaslah dengan artikel ini, bahwa product line jelas Tidak Perlu Lengkap, melainkan harus berada pada titik optimal!
Pustaka :
Anonim dalam Refrinal. 2007. Produk Line Harus Lengkap dalam Marketing for Decision Maker. Kumpulan Artikel dan Kliping. Field Survey Indonesia. Jakarta
Pengetahuan ada dua macam : yang telah kita ketahui dengan sendirinya atau yang hanya kita ketahui dimana ia bisa didapatkan.
Samuel Johnson