Merangkul Mass Affluent

Bertahun-tahun, para pemasar seakan-akan terbuai konsep relationship marketing. Terlihat dari fakta bahwa setiap toko, produsen, dan bahkan penjaja makanan menawarkan kesempatan bagi pelanggannya untuk diakui secara pribadi melalui penerbitan kartu keanggotaan serta iming-iming peningkatan kualitas layanan. Atau, ada juga perusahaan yang lebih percaya bahwa mereka dapat menjual sekaligus memperoleh banyak uang dengan melayani segmen konsumen tertentu, kalangan bawah atau kalangan atas, atau hanya menjual dengan tatap muka langsung satu per satu. Cara itu tidak keliru, tapi tidak lengkap. Sebab, ada cara lain, yaitu menggarap sektor yang disebut mass-affluent atau konsumen antara, yakni: mereka yang bukan kalangan menengah, yang telah mengalami peningkatan kesejahteraan. Walau banyak yang percaya bahwa pemasaran massal telah berakhir, dengan pendekatan ini diharapkan bahwa massa yang memiliki banyak uang tunai akan memberi dampak pada peningkatan pendapatan usaha.
SIAPA YANG DISEBUT SEBAGAI MASS-AFFLUENT?
Berdasarkan penelitian dua tahun lalu, terjadi pergeseran pendapatan masyarakat. Bentuk grafik pendapatan bukan diagonal lagi, melainkan seperti luncuran ski, di mana kalangan menengah bergeser naik ke atas (upscale). Massa affluent ini memiliki pendapatan lebih, yang belum dimanfaatkan lebih banyak sebagaimana mestinya dan belum ada cara efektif menarik mereka untuk mengeluarkan dana. Berkurangnya pengeluaran dapat diterjemahkan sebagai cek uang yang tidak terwakili, padahal merupakan ladang hijau baru bagi perusahaan.
Penelitian yang dilakukan Institute for High Performance Business dari Accenture menekankan bahwa aturan main pemasaran massal memang harus ditulis ulang (rewrite the rules) agar menjangkau selera dari semakin beragamnya – dan tentu saja semakin menuntut – jenis konsumen ini. Sekali lagi, massa dengan banyak uang, atau orang-orang kaya baru ini semakin tumbuh, sehingga tentu merupakan sasaran empuk para pemasar. Intinya, aturan baru tersebut dapat dibagi dalam 7 kiat untuk menangkap pasar yang sebagian besar terabaikan ini. Gambaran berikut akan memaparkan bagaimana perusahaan-perusahaan inovatif telah menerapkan 7 kiat pemasaran baru kepada kelompok khusus (orang-orang kaya baru) itu. Perusahaan-perusahaan ini adalah produsen pelbagai produk, dari perawatan mulut sampai mobil eksotis bernilai miliaran dolar AS.
Ketujuh kiat tersebut adalah:
  1. Menangkap ceruk antara posisi barang mewah dan pasar massal;
  2. Melayani beragam jenis konsumen dengan produk yang sama;
  3. Menemukan produk-produk idaman yang juga memberi kegunaan khusus;
  4. Memperkenalkan pilihan-pilihan untuk sebuah kepemilikan yang tadinya tidak terjangkau menjadi terjangkau;
  5. Memperkenalkan produk-produk baru yang berkinerja laiknya investasi;
  6. Mengubah lokasi penjualan, format, dan beragam penawaran untuk optimalisasi konsumsi massa affluent;
  7. Menyusun promosi yang berbiaya efektif untuk menarik dan mempertahankan pelanggan dengan tingkat pembelanjaan yang tinggi

LANTAS, BAGAIMANA APLIKASINYA?

Berdasarkan pengamatan pemerintah, tingkat konsumsi di Indonesia meningkat sekitar15%. Ini menunjukkan bahwa ada kalangan tertentu yang meningkatkan pembelanjaan mereka. Salah satu contoh adalah belanja menggunakan kartu kredit. Dengan demikian bank-bank yang mengeluarkan kartu kredit harus mencari akal bagaimana menarik konsumen baru. Dan kita sudah lihat bagaimana upaya bank supaya kita terus menggesek hingga semakin tinggi nilai poin berhadiah atau melakukan pembelian cicilan tanpa bunga (walau kartu kreditnya berbunga). Jadi kiat nomor empat, 6 dan7 menjadi fokus utama dari upaya peningkatan belanja pelanggan.

Baru-baru ini, BII meluncurkan program membetot keanggotaan baru dengan iming-iming hadiah iPod. Uniknya, iPod itu akan diberikan bila pembelanjaan dalam kurun waktu satu bulan mencapai minimal Rp 3 juta. Kalau kita pikir kembali, para pengguna kartu kredit itu memiliki uang untuk membeli iPod sendiri tanpa harus belanja dengan jumlah ketentuan minimal yang diminta. Namun justru dengan menciptakan drive atau motivasi mendapatkan sesuatu yang gratis, menjadi lebih menarik bagi kaum affluent. Contoh ini merupakan paparan dari kiat ketiga dan ke-6.

Contoh lainnya, saya baru saja menyantap makan siang dengan beberapa rekan kerja di Hotel Mulia, Jakarta. Sudah diketahui umum bahwa makan di hotel memang lebih mahal ketimbang restoran biasa -- tapi, selera makan terpuaskan. Uniknya, saat membayar tagihan makan, saya mendapat vocer senilai 10% dari bill (sebelum pajak). Dengan demikian, Hotel Mulia, tentu saja berusaha mempertahankan saya sebagai pelanggan dengan cara promosi yang tidak terlalu mahal, dan juga tidak aneh-aneh. Ini kiat nomor dua dan 7.

Akhir kata, walau mungkin terjadi penurunan tingkat konsumsi di tahun-tahun mendatang, meningkatnya kaum affluent yang telah terjadi, pasti akan tetap berlangsung. Ketersediaan dana yang mereka miliki memberi kesempatan para pemasar untuk berinovasi. Tujuan utamanya tentu menghasilkan margin setinggi-tingginya dengan memberi penawaran yang cukup mahal agar mendapat margin superior, dan menjual penawaran kepada mereka yang dapat menjustifikasi bahwa mereka mampu membeli penawaran itu. Di situlah letaknya keuntungan bisnis dengan fenomena mass-affluent.

Pustaka:

Inge Lingo dalam refrinal. 2006. Menarngkul Mass Affluent dalam Marketing for Decission Maker. Kumpulan Artikel dan Kliping. Field Survey Indonesia. Jakarta

Selama kita masih mampu bertahan dari keburukan yang menimpa, kita telah menunjukkan bahwa kita bukan orang yang kalah

Edward Linggar