The Forgotten Realm of Emotional Branding

Istilah emotional branding dilahirkan sebagai kontras terhadap pendekatan branding konvensional yang bersifat ‘rasional’. Umumnya sebuah brand mengedepankan benefit dari segi rasional-fungsional, yang berhubungan langsung dengan problem solving benefit dari sebuah produk atau jasa. Misalnya, detergen yang ‘mencuci lebih bersih’. Upaya-upaya pemasaran modern sudah lebih jauh lagi melangkah dengan berusaha mengangkat nilai emosional dari brand, misalnya bila suatu detergen diperlihatkan mampu membuat sang ibu disayang oleh keluarga dan mertuanya.
Bagaimana pendekatan emosional yang tepat untuk Indonesia? Charles Schell, profesor international business dari Manchester Business School, mengatakan bahwa Indonesia mempunyai keunikan dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya, yaitu kentalnya sikap lifestyling. Ini adalah kecenderungan seseorang untuk meniru gaya hidup mereka yang status sosialnya satu tingkat di atas orang tersebut. Hal itu diduga merupakan peninggalan dari zaman kolonial, di mana pejabat pemerintah mendapatkan status lebih tinggi dibanding kebanyakan orang, dan di mana ukuran kesuksesan seseorang ditentukan dari sampai sejauh mana orang tersebut dekat dengan pusat kekuasaan serta jabatan yang dimiliki. Lepas dari tingkat ekonomi yang dimiliki, ada kesan bahwa banyak orang yang berusaha habis-habisan untuk memiliki gaya hidup yang sedang menjadi tren.
Tim kami pernah melakukan sebuah studi dengan format yang diadopsi dari VALS II (Values & Lifestyle Study - II) untuk mengetahui komposisi masyarakat urban pada tiga profil utama values dan gaya hidup:
  • Mereka yang berorientasi ‘prinsip’: orang yang melakukan dan mengadopsi sesuatu yang sesuai dengan norma-norma kehidupan yang mereka anut.
  • Mereka yang berorientasi ‘status’: orang yang berusaha memperoleh pengakuan dari masyarakat dengan berbagai macam cara.
  • Mereka yang berorientasi ‘ action ‘: orang yang tidak terlalu peduli akan prinsip maupun status, yang mereka cari adalah kesenangan, pengalaman, dan sesuatu yang sifatnya sensasional serta menghibur.

Sebagai contoh, sebagian besar konsumen membeli Body Shop karena sesuai dengan values mereka untuk menjaga kelestarian lingkungan (orientasi prinsip), sementara orang lain membeli Mercedes untuk mendapatkan pengakuan (orientasi status), dan mereka yang gemar bertualang merokok Marlboro karena sensasi alam bebas yang diberikan merek tersebut (orientasi action).

Data yang didapatkan melalui lebih dari 1.000 responden riset di daerah urban, menunjukkan bahwa 65% konsumen urban Indonesia memiliki orientasi utama ‘status’, sedangkan sisanya dibagi rata di antara dua orientasi lainnya. Proporsi status sedemikian besarnya sehingga jangan heran kalau banyak orang Indonesia yang membeli Body Shop dan Marlboro dengan alasan ‘status’--merasa mendapat pengakuan dan gengsi dari merek tersebut. Ada studi yang bahkan menunjukkan bahwa banyak orang yang hanya mengantongi Marlboro waktu malam Minggu-an, sedangkan Senin - Jumat mengantongi merek yang lebih murah.

Sebenarnya, dominannya kepedulian akan ‘status’ tersebut sudah banyak disadari para pelaku pasar. Lihat saja betapa banyaknya iklan yang menokohkan si pemakai sebagai bintang film, orang berduit, macho, dan sebagainya.

Sengitnya persaingan di kategori ‘status’ ini mengakibatkan brand yang kurang kuat atau belum mendapatkan pengakuan dari masyarakat menjadi tersingkir--untuk apa membeli brand kelas dua kalau image-nya tidak mendukung? Akibatnya, entah mereka terpaksa menurunkan harga (kehilangan citra) atau sama sekali cabut dari peredaran.

Beberapa pemain berusaha menjelajahi pasar yang belum banyak dijelajahi dengan berusaha memposisikan brand-nya untuk konsumen berorientasi prinsip dan action. Namun, market size yang begitu kecil untuk kedua kategori ini mengakibatkan revenue yang diinginkan juga tidak tercapai.

Djarum Black, yang merupakan pendekatan branding yang kreatif dan berani, juga hanya berhasil mencapai konsumen dalam jumlah yang terbatas (meskipun konsumennya dinilai cukup loyal). Nuansa Djarum Black lebih berorientasi ‘action’, dengan pendekatan yang fun dan intriguing . Beberapa pengamat mempertanyakan penggunaan warna hitam yang mungkin memiliki aura negatif bagi sebagian kalangan, meskipun konsep hitam tersebut memang cocok dengan karakter Djarum Black yang misterius. Mungkin brand ini akan lebih sukses kalau membangun karakter ‘macho’ yang sesuai dengan asosiasi warna hitam? Kalau sekarang sebagian besar konsumennya berasal dari kategori ‘action’, dengan mereposisi Djarum Black menjadi ’macho’ akan menggeser value proposition kepada mereka yang berorientasi ‘status’, karena banyak orang yang ingin memiliki status ‘jantan’.

Pada intinya, seperti yang dikatakan Tsun Zu, ’Know your battle field’ --berusahalah untuk benar-benar mengerti konsumen Anda. Hal ini kedengarannya sederhana, tetapi percayalah bahwa kebanyakan praktisi lebih banyak mengikuti ‘intuisi’ mereka dibandingkan mencoba mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh pasar. Berdasarkan pengalaman kami sebagai konsultan, intuisi bagi kebanyakan orang lebih merupakan ‘apa yang mereka inginkan untuk diterima oleh pasar’--yaitu ide kreatif yang berdasarkan selera pribadi semata tanpa benar-benar peduli apakah pasar dapat menyerap ide tersebut.

Oke, bisnis adalah ‘seni’, tetapi jangan berperilaku sebagai ‘seniman’ kalau ingin bisnis Anda berhasil.

Pustaka :

Alexander Mulya dalam Refrinal. The Forgotten Realm Emotional Branding dalam Marketing for Decision Maker. Kumpulan Artikel dan Kliping. Field Survey Indonesia. Jakarta

Tiadanya keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan; dan saya percaya pada diri saya sendiri
Muhammad Ali