Saya menduga, umumnya pemasar-pemasar baru itu tidak kenal betul marketing strategy yang benar. Barangkali mereka cuma baca berita di Koran, bahwa popularitas merek adalah fungsi dari ‘value’. Produk-produk diterima oleh pasar karena ‘value’. Tapi tak banyak yang tahu bahwa value berdimensi sangat luas. Yang mereka baca dari kasus-kasus yang diulas wartawan dan para pengamat adalah celebrity CEO yang mengelola celebrity (popular) brand, yang mengedepankan semata-mata customer value. Bahkan saya mendengar ada product manager yang berani membuang cuma-cuma Rp. 80 sampai 150 miliar untuk merebut customer pesaing-pesaingnya. Mereka sudah tak ubahnya seperti politisi yang baru kenal pemasaran yang ‘membeli’ suara lewat operasi subuh. Maka ketika pemungutan suara harus diulang, tak ada satupun yang kembali.
‘Creating Customer Value’ pada dasarnya adalah pendekatan pemasaran yang marak pada tahun 90’an. Pendekatan ini lahir sebagai kelanjutan dari kepercayaan bahwa customer adalah raja, dan pesaing adalah ‘penjahat’. Secara terselubung, nuansa teori PIMS yang mengedepankan pentingnya penguasaan market share sangat dominan dirasakan. Dengan berbagai penelitian, ditemukanlah teknik-teknik seperti experiential marketing, emotional marketing dan sebagainya. Intinya, pemasar didorong memberikan ‘Value’ yang sebesar-besarnya kepada pelanggannya.
Di akhir periode, para pemegang saham tentu akan mendatangi Anda dan bertanya, ‘where is the beef’ (mana untungnya?). Harap diingat ‘creating customer value’ adalah cost dan untuk itu anda harus bijak memainkannya. Kalau karir pemasaran Anda dimulai dari dunia sales, Anda tentu akan banyak mengalami kesulitan memahami ini. Saya banyak menemukan kasus eksekutif yang tidak mampu menghitung HPP (harga pokok penjualan) bahkan menjual produknya di bawah HPP demi mencetak sales dan customer value. Kalau anda menggunakan emotional marketing dan experiential marketing, maka anda tak boleh main di pasar bawah. Consumer harus dipaksa membayar ‘value’ itu, bukan menjadi beban perusahaan.
Dalam, teori-teori pemasaran yang baru, objektif pemasaran memang sudah mulai berubah, dari creating customer value menjadi creating shareholder/ stakeholder value. Value ini tentu saja tidak harus diberikan dan difokuskan semata-mata pada customer, melainkan juga producer, shareholders dan society. Setidaknya ada tiga komponen (driver) yang turut menciptakan Value, yaitu Marketing (khususnya strong brand, customer loyalty, dan differensiasi), organisasi (strong culture, skills, leadership dan proses belajar) serta finance (investasi, pengendalian resiko, cash flow dsb). Maka strategi pemasaran tidak lagi difokuskan pada peningkatan pangsa pasar (penguasaan pasar), melainkan peningkatan dan pengelolaan marketing assets, khususnya intangibles. Pemasaran memang sedang mengalami reorientasi dari semata-mata pemasaran munuju general management.
Dalam hal ini strategic management menjadi penting sekali. Kalau Anda bisa menaikkan customer value maka janganlah bermain diharga murah. Kalau anda bermain diharga murah, yakinlah bahwa Anda bisa bekerja dengan cost structure yang rendah. Kalau anda terus memotong harga, bersiap-siaplah menghadapi reaksi keras dari lawan-lawan anda. Kemampuan berhitung dan berkelana ke seluruh lini manajemen mutlak dibutuhkan. Kalau semua value itu diberikan kepada orang lain, maka perusahaan anda dapat apa? Itulah yang membuat saya berhati-hati menilai Mie Sedaap, Lion Air ataupun Bread Talk. Mudah-mudahan saja mereka panjang usia, berlimpah rezeki dan terus mampu membagi-bagi value dengan benar.
Pustaka :
Rhenald Khasali dalam Refrinal. 2007. Mendefenisikan Kembali Value dalam marketing for Decision Maker. Kumpulan Artikel dan Kliping. Field Survey Indonesia. Jakarta
Teman sejati adalah ia yang meraih tangan anda dan menyentuh hati anda
Heather Pryor