Bermodal dana segar ratusan juta dolar AS, pemain global seperti Danone, Unilever, Nestle, Coca-Cola, dan Heinz terus memborong merek-merek lokal. Produk dan merek apa lagi yang mereka incar?
Taro. Ini camilan renyah yang disukai oleh sebagian besar anak di Indonesia. Rasanya gurih. Meski Taro termasuk jenis makanan ringan, bisnisnya ternyata tak bisa dianggap remeh-temeh. Apalagi sejak September 2003 bisnis itu diambil oleh perusahaan multinasional sekelas Unilever. Melalui PT Unilever Indonesia, raksasa bisnis asal Belanda itu mengakuisisinya dari tangan PT Sari Murni Utama, lengkap dengan pabrik dan segala fasilitasnya yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat.
Betapa seriusnya pihak Unilever dengan bisnis barunya ini, tercermin dari ungkapan Des Dempsey, chief financial officer PT Unilever Indonesia Tbk. Kata Dempsey, ‘Akuisisi ini memberikan prasarana baru bagi Unilever untuk meningkatkan bisnis makanan yang berkembang pesat, yang saat ini sudah mendekati 20% dari total bisnis (Unilever).’
Akuisisi itu, menurut Dempsey, sudah sejalan dengan strategi investasi Unilever pada merek-merek yang masih mempunyai potensi untuk tumbuh di pasar yang juga berkembang pesat. Oleh karenanya, tambah dia, Unilever akan terus menjajaki peluang akuisisi guna mempertahankan target pertumbuhan dua digit. Langkah ini, diyakini Dempsey, akan memberikan nilai tambah kepada pemegang saham.
Dempsey lalu memaparkan, akuisisi Unilever dalam beberapa tahun terakhir ini telah menyumbangkan sekitar 12% dari total penjualan perusahaan. Artinya, kalau tahun 2002 penjualan perusahaan ini mencapai Rp7,2 triliun, maka Rp864 miliar di antaranya disumbangkan oleh langkah akuisisi tadi. Hasil yang cukup meyakinkan. Itu sebabnya Unilever akan terus melanjutkan pengembangan bisnisnya melalui akuisisi dan berbagai inovasi guna memenuhi kebutuhan konsumennya.
Belakangan, akuisisi seperti yang dilakukan oleh Unilever rupanya telah menjadi salah satu modus yang kian penting bagi perusahaan-perusahaan multinasional dalam ekspansinya ke pasar Asia, termasuk Indonesia, baik yang dilakukan lewat akuisisi bisnis maupun akuisisi merek. Contohnya seperti yang dilakukan oleh produsen barang konsumsi, Danone atau HJ Heinz.
Menurut Ignas G. Sidik, pengajar senior sekaligus pembantu ketua urusan riset Prasetiya Mulya Business School, ada banyak alasan mengapa perusahaan mengambil alih sebuah bisnis/merek. Selain murni motifnya investasi, Ignas Sidik melihat ada tiga motif lain yang mendorong terjadinya proses itu, yakni motivasi untuk mencoba pada sebuah kategori produk baru, mencari kompetensi yang dibutuhkan dengan cara yang lebih cepat (misalnya, jaringan bisnis atau customer base -nya), dan mencari pijakan untuk menyerbu pasar pada kategori yang belum dikenalnya.
AKUISISI: MODEL PERTAMA
Untuk pengambilalihan ini, beberapa perusahaan multinasional melakukannya dengan berbagai cara yang berbeda. Model pertama, mereka mengakuisisi seluruh bisnisnya, baik merek maupun fasilitas produksinya. Cara ini, misalnya, dilakukan oleh Unilever ketika mengakuisisi produk makanan ringan Taro dan kecap Bango.
Untuk kecap Bango, Unilever mengakuisisinya dari PT Sakura Aneka Food, sebuah perusahaan keluarga yang didirikan pada 1928. Ketika diakuisisi, perusahaan itu tengah dipimpin oleh generasi ketiganya, Eppy Kartadinata, 57 tahun, dengan omzet sekitar Rp1 miliar per bulan. Cukup prospektif. Apalagi kecap Bango juga berhasil lolos uji FDA (Food & Drug Agency), badan yang mengawasi obat dan makanan di AS, sehingga bisa mengekspor produknya hingga ke Singapura, Kanada, Australia, dan Eropa, selain tentunya ke AS. Selama ini volume ekspornya memang belum seberapa, baru 10% dari total produksi. Selain itu, perusahaan ini juga baru membangun pabrik baru seluas 8,5 hektare di Subang, Jawa Barat.
Guna mengambil alih kecap Bango, pihak Unilever melakukan pendekatan selama hampir satu tahun penuh kepada pemiliknya--bukan pendekatan yang mudah. Cuma, kondisi kecap Bango memang tak terlalu menguntungkan akibat pasarnya mulai digerogoti oleh kecap-kecap yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar, yang memiliki teknologi lebih maju dan modal kuat. Sementara itu, bagi kecap Bango, promosi saja menjadi sesuatu yang mahal. Melorotnya pamor kecap Bango juga tak lepas dari konflik keluarga yang banyak mewarnai perjalanan bisnisnya. Maka, akhirnya tak tertahankan lagi, kecap Bango pun pindah ke Unilever.
Cara pengambilalihan yang serupa dengan Unilever juga dilakukan oleh Danone. Perusahaan multinasional asal Perancis ini berambisi untuk memimpin di pasar lewat tiga bisnis intinya, yaitu dairy products, bottled water, dan biscuit. Untuk dairy products, kini Danone masih menempati posisi nomor satu di dunia dengan penguasaan pasar sebesar 15%. Adapun untuk produk air minum dalam kemasan (AMDK), Danone mengklaim juga menempati peringkat pertama dunia lewat merek Evian, Volvic, dan Badoit. Untuk bisa mempertahankan diri sebagai produsen bottled water nomor satu dunia, perusahaan ini harus berjuang keras menahan gempuran Coca-Cola dan Nestle. Upaya inilah yang menyebabkan Danone memerlukan dukungan jaringan bisnis dari produk-produk AMDK lainnya yang ada di kawasan Asia, sebuah kawasan yang pasarnya terus tumbuh.
Bagaimana cara perusahaan yang pada tahun 2002 memiliki 92.209 karyawan dan tersebar di 120 negara itu mencari dukungan tersebut? Dengan mencari lokasi yang tepat, mendirikan pabrik, lalu menyiapkan jaringan distribusi dan tenaga-tenaga penjualnya? Ah, cara itu jelas terlalu lama. Ada cara yang lebih cepat untuk memperoleh pangsa pasar air kemasan, itu tadi, yakni dengan mengakuisisi perusahaan AMDK lokal di Asia, termasuk Indonesia.
Mengapa Asia? Sebab, pasar di benua itu, dengan jumlah penduduk yang berlimpah, masih menjanjikan pertumbuhan sebesar 11% untuk AMDK-nya. Bandingkan dengan pasar Eropa yang cuma bisa menawarkan pertumbuhan 3%. Untuk itu, dalam kurun waktu 12 bulan pertama sejak strategi ini dicanangkan, Danone langsung melakukan aksi beli perusahaan-perusahaan AMDK di beberapa wilayah Asia. Ini dimulai dengan akuisisi terhadap dua perusahaan air mineral di Cina, lalu Aqua di Indonesia, dan perusahaan minuman di Singapura. Menurut kalkulasi pihak Danone, seluruh proses akuisisi ini kelak memberikan sumbangan sebesar US$1,5 juta terhadap total turnover grup ini dalam tiga tahun ke depan (untuk tahun 2002, turnover -nya mencapai US$15,57 juta). Ini terhitung sejak dimulainya proses akuisisi pada 1998.
Di Indonesia, pada 1998 Danone mengambil alih 74% saham PT Tirta Investama, perusahaan yang menjadi induk dari PT Aqua Golden Mississippi. Produsen AMDK bermerek Aqua ini semula berstatus perusahaan publik. Namun, menjelang akuisisi oleh Danone, Aqua Golden melakukan buyback sejumlah sahamnya yang dikuasai publik dan memilih go private , alias kembali menjadi perusahaan tertutup.
Bagi Danone, Aqua jelas merupakan merek AMDK yang menguntungkan. Pasalnya, produksi AMDK merek Aqua langsung menyumbang sekitar 12% dari total volume produksi air minum Danone di seluruh dunia. Kini, dengan menguasai 50% pangsa, Aqua adalah pemimpin pasar AMDK di Indonesia.
Cara serupa Danone juga dilakukan oleh HJ Heinz. Perusahaan multinasional asal AS itu masuk ke pasar Indonesia dengan mengambil alih 65% saham PT ABC Central Food, dan sekaligus menjadi pemegang saham mayoritas di sana. Model ini dipilih Heinz karena memang lebih menguntungkan. Bayangkan, mereka bukan cuma menguasai merek ABC yang pamornya sudah sangat cemerlang di bisnis makanan dan minuman, tetapi juga mengambil alih merek yang produknya menguasai pasar. Saat ini produk kecap dan sirup merek ABC boleh dibilang penguasa di pasarnya masing-masing. Saat sebagian sahamnya dibeli, ABC Central Food adalah produsen kecap terbesar kedua di dunia. Sementara itu, Heinz sendiri adalah pemilik merek kecap terkemuka di dunia yang omzetnya mencapai US$1,5 miliar.
AKUISISI: MODEL KEDUA
Akuisisi model ini adalah dengan mengambil alih mereknya saja, tidak termasuk saham perusahaannya. Lalu setelah pengambilalihan, fasilitas produksinya pun tetap memakai pabrik lama. Hanya urusan distribusi dan pemasaran kini ditangani oleh perusahaan pengambil alih. Cara ini, misalnya, ditempuh oleh The Coca-Cola Company ketika mengambil alih beberapa merek AMDK.
Menurut pihak Coca-Cola, langkah ini dipilih untuk merebut pangsa pasar AMDK secara cepat. Cara ini mereka nilai lebih cepat ketimbang harus mengakuisisi bisnis, atau mengambil alih saham suatu perusahaan. Maka, pada tahun 2000, lewat PT Coca-Cola Indonesia (CCI), produsen minuman nomor satu di dunia ini membeli empat merek AMDK milik PT Ades Alfindo Putra Setia (AAPS) senilai US$19,9 juta. Empat merek itu adalah Ades, Desca, Desta, dan Vica.
Untuk memproduksi AMDK dengan merek Ades, CCI tetap menggandeng AAPS. Di bawah supervisi dari PT Coca-Cola Bottling Indonesia (CCBI), yang selama ini memproduksi minuman berkarbonasi dengan merek Coca-Cola, Fanta, dan Sprite, seluruh proses produksi, distribusi, dan promosi AMDK bermerek Ades menjadi tanggung jawab CCI. Saat diambil alih oleh CCI, Ades menguasai 6% pangsa pasar minuman siap saji non-alkohol.
Akuisisi Ades hanyalah satu dari beberapa langkah besar CCI untuk menjadi pemain total beverages company terkemuka di Indonesia, dan sekaligus di dunia. Sebab, sesudah langkah akuisisi AMDK bermerek Ades, tahun lalu CCI juga menghadirkan produk minuman teh dalam kemasan botol dan tetrapack ke pasar Indonesia dengan merek Frestea. Minuman ini merupakan hasil kolaborasinya dengan produsen global lainnya, Nestle. Lalu terakhir, September 2003, CCI melemparkan produk sirup ke pasar lokal lewat merek Sunfill.
Persaingan bakal bertambah sengit karena Unilever pun memilih cara akuisisi untuk menjajal kompetensinya dalam bisnis minuman teh di pasar Indonesia. Dengan mengakuisisi teh bermerek SariWangi, sebuah merek lokal yang cukup populer di sini, Unilever berharap bisa meningkatkan bisnis minumannya, terutama setelah sebelumnya mereka juga menjajal pasar Indonesia dengan minuman teh bermerek Lipton, yang merupakan merek global Unilever untuk produk-produk minumannya.
AKUISISI: MODEL KETIGA
Akuisisi Unilever atas teh SariWangi, dan juga makanan ringan Taro, bolehlah dibilang sebagai model ketiga. Di sini yang diambil alih hanya mereknya. Urusan produksi, distribusi, dan pemasaran, semuanya memakai fasilitas si pengambil alih.
Saat dibeli oleh Unilever, SariWangi adalah merek teh terkemuka di Indonesia. Menurut Rahmat Badrudin, ketua Asosiasi Teh Indonesia (ATI), Unilever mengambil alih SariWangi pada saat perusahaan teh ini sudah dikelola pemiliknya selama lebih dari 10 tahun. Saat itu, kelangkaan dana menjadi salah satu penyebab tidak berkembangnya bisnis teh SariWangi--termasuk kelangkaan dana untuk melakukan promosi. ‘Setahu saya, yang dilakukan Unilever saat itu adalah akuisisi terhadap merek. Jadi, Unilever membeli merek SariWangi,’ katanya.
Informasi Rahmat Badrudin dibenarkan oleh Sukatma Hasan, manajer ekspor-impor PT Sariwangi AEA. Perusahaan ini adalah pemilik produk teh bermerek SariWangi, sebelum mereknya itu diambil alih oleh Unilever. Sukatma lalu menuturkan, merek SariWangi diambil alih Unilever beberapa tahun sesudah peristiwa Perang Teluk I 1991--perang yang sekaligus menghancurkan pasar utama perusahaan ini, yaitu Irak. ‘Jadi, sebenarnya sudah sekitar lima tahun yang lalu merek SariWangi dibeli Unilever,’ tutur Sukatma. Kala itu sebenarnya merek ini sudah menguasai 75% pangsa pasar teh celup nasional. Kelangkaan dana menjadi salah satu alasan mengapa pemilik perusahaan ini mau melepas mereknya kepada Unilever. Sekarang, pabrik PT Sariwangi AEA kembali memproduksi teh dengan mengembangkan merek baru, SedapWangi.
SEJUMLAH KRITERIA
Tiga model akuisisi tadi, entah yang dilakukan Unilever, Danone, Heinz, ataupun perusahaan-perusahaan multinasional lainnya, agaknya kian menjadi pilihan bagi mereka guna mempertahankan pertumbuhan bisnisnya. Sasarannya jelas: pasar Asia--termasuk Indonesia. Pasalnya, di sanalah potensi masih terbuka lebar ketimbang di negara asalnya yang persaingannya sudah kian sengit. Untuk itu mereka pun siap mengucurkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit.
Ambil contoh, Unilever. Untuk mempertahankan pertumbuhan bisnisnya di Indonesia, perusahaan itu siap membenamkan dananya sebesar US$500 juta dalam sepuluh tahun mendatang. Melihat dana yang tersedia, serta akuisisi yang sudah mereka lakukan, peluang Unilever untuk mengambil alih bisnis/merek lokal masih sangat terbuka. Ini berarti daftar perusahaan yang bakal masuk dalam kantong belanjaan Unilever masih cukup panjang.
Lantas, bisnis apa yang potensial untuk dilirik perusahaan global seperti Unilever? Melongok aksi akuisisi yang sudah dilakukannya, serta yang juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan global lainnya, tampaknya ada beberapa kesamaan kriteria.
Lantas, bisnis apa yang potensial untuk dilirik perusahaan global seperti Unilever? Melongok aksi akuisisi yang sudah dilakukannya, serta yang juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan global lainnya, tampaknya ada beberapa kesamaan kriteria.
KRITERIA PERTAMA, bisnis/merek yang akan diambil alih haruslah yang berada dalam, atau paling tidak mendekati, bisnis inti (core business) perusahaan global. Apa yang dilakukan Danone dengan mengambil alih Aqua, atau Heinz dengan ABC-nya, termasuk kecapnya, membuktikan hal itu. Akan halnya Unilever, yang terkesan mengakuisisi merek-merek di luar bisnis inti, itu karena mereka memang tengah berekspansi ke bisnis baru, yakni bisnis makanan dan minuman.
KRITERIA KEDUA, bisnis yang akan diambil alih haruslah bisnis yang menjanjikan pertumbuhan sampai dua digit. Itu sebabnya, entah perusahaan, bisnis, atau merek yang diambil alih haruslah yang menguasai pasar, atau setidaknya menduduki posisi lima besar di pasar. Apabila yang diambil alih merupakan sebuah merek, maka merek itu haruslah masih bisa dikembangkan lagi oleh para produsen global. Apalagi kalau ada peluang untuk menjadikannya sebagai merek global, maka merek tersebut pasti akan mereka beli dan memasukkannya dalam merek global. Sebaliknya, kalau merek tersebut memiliki keunikan sebagai merek lokal, maka produsen global pun akan siap mengembangkannya sebagai merek lokal.
L. Chris Biantoro, analis pasar modal dari PT Ficor Sekuritas Indonesia, menyodorkan bukti yang mendukung kriteria kedua ini. Menurut Chris, ekspansi Unilever ke bisnis makanan dan minuman memang sangat beralasan. Dia lalu memberikan data, saat ini industri makanan dan minuman masih memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu mencapai dua digit. ‘Antara 10% sampai 12%,’ tandasnya. Chris lalu melengkapi kriteria kedua dengan catatan tambahan, bisnisnya masih bisa bertahan dalam dua hingga lima tahun ke depan.
Hal itu, menurut Chris, sangat mungkin dicapai mengingat jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa. Terlebih lagi, pola masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif juga mendukung adanya pertumbuhan ini. Chris meramalkan, ‘Dalam sepuluh tahun ke depan, yang akan bermain di Indonesia adalah the big player.’
KRITERIA KETIGA, usia bisnis/mereknya setidaknya lebih dari 10 tahun. Kecap Bango, misalnya, usia produknya bahkan sudah 75 tahun. Atau juga makanan renyah Taro, yang umurnya sudah belasan tahun.
Thomas Darmawan, ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), menyodorkan kriteria keempat. Menurut Thomas, salah satu bisnis makanan dan minuman yang potensinya cukup besar untuk diambil alih adalah yang berbasis gula, mulai dari kembang gula, sirup, teh siap saji, biskuit, snack , sampai bumbu dapur seperti kecap. ‘Pada dasarnya orang Indonesia itu kan suka sesuatu yang manis,’ katanya.
Pendapat Thomas disokong oleh Hardianto Atmadja, chief development officer PT Sinar Niaga Sejahtera, sebuah perusahaan distribusi dalam kelompok GarudaFood. Hardianto menambahkan, konsumen Indonesia sangat menyukai variasi makanan dan minuman. ‘Juga tukang ngemil, katanya.
Sesuai kriteria tersebut di atas, jenis produk apa yang bakal diambil alih oleh perusahaan-perusahaan multinasional tadi? Selain sirup, teh, kecap, air minum, dan makanan ringan, tampaknya kembang gula dan bumbu masak juga layak dipertimbangkan. Kembang gula, misalnya, pertumbuhannya mencapai 7%--belum sampai dua digit, tetapi jauh lebih besar ketimbang pertumbuhan di pasar AS dan Eropa yang hanya 2%. Mengutip berbagai pendapat, Hardianto memperkirakan market size kembang gula di Indonesia mencapai Rp1,5--3 triliun per tahun. ‘Dari pasar itu, 65%-nya adalah hard candy ,’ kata Hardianto. Dengan jumlah merek yang mencapai ratusan saat ini, persaingan memang sangat ketat, baik bagi pemain asing maupun lokal.
Dengan market size tersebut, lanjut Hardianto, jika ada perusahaan yang bisa menguasai pangsa pasar kembang gula 10% saja, maka dia dapat dikategorikan sebagai pemimpin pasar. Ini berarti kesempatan bagi pemain dunia, seperti Nestle, yang saat ini berniat mendongkrak kinerja bisnis kembang gulanya. Maklumlah, di AS, pertumbuhan bisnis kembang gula diperkirakan cuma 2,5% per tahun.
Untuk kecap, selain merek-merek tadi, masih ada beberapa merek yang bisa dikembangkan. Saat ini konsumsi kecap per tahun mencapai sekitar 130 juta liter dengan market size Rp3 triliun. Pasar ini sekarang diperebutkan oleh beberapa pemain besar, seperti Heinz lewat merek ABC-nya, Unilever dengan Bango-nya, dan pemain lokal Indofood lewat merek Indofood dan Piring Lombok-nya. Mereka ini bersaing dengan pemain lokal skala menengah lainnya, seperti PD Sari Sedap Indonesia dengan merek Nasional, yang kini menguasai pasar menengah-bawah.
Selain kecap, sirup pun menyimpan potensi besar untuk digarap. Saat ini, pertumbuhan rata-rata minuman sirup di Indonesia mencapai 18% per tahun--memang kalah dibandingkan dengan minuman serbuk instan yang tumbuh 31%. Padahal, pemain bisnis berskala besar di kategori ini masih bisa dihitung dengan jari. Salah satunya adalah Heinz, yang menguasai pasar lewat sirup merek ABC dan Nutrisari untuk kategori minuman serbuk.
Lalu merek lokal apa yang bakal diincar? Anda pernah dengar sirup Sarangsari? Ini merek yang nyaris satu angkatan dengan kecap Bango, dengan segmen pasar kelas menengah-atas. Sirup ini pun memiliki kekhasan rasa yang tidak dimiliki oleh sirup-sirup lainnya. Sayangnya, pangsa pasar Sarangsari tak kunjung meningkat. Ini entah karena volume produksinya yang memang terbatas, jaringan distribusinya tak meluas, atau promosinya yang kurang. Pernahkah Anda melihat iklan Sarangsari di teve atau media cetak? Rasanya tidak. Dengan segmen pasar untuk kalangan menengah-atas, jelas sirup ini masih berpotensi untuk dikembangkan.
Menurut Thomas Darmawan, soal dana memang menjadi kendala besar bagi pemain lokal untuk bisa bersaing dengan pemain global. Terlebih lagi bagi perusahaan yang belum go public . ‘Kalau perusahaan publik masih bisa memanfaatkan instrumen pasar modal untuk meraih dana murah,’ katanya. Untuk perusahaan tertutup? Itu sebabnya agar pasarnya berkembang, satu-satunya harapan adalah diambil alih oleh perusahaan yang lebih besar, termasuk perusahaan asing, meski dengan harga yang relatif murah.
Menurut Thomas Darmawan, soal dana memang menjadi kendala besar bagi pemain lokal untuk bisa bersaing dengan pemain global. Terlebih lagi bagi perusahaan yang belum go public . ‘Kalau perusahaan publik masih bisa memanfaatkan instrumen pasar modal untuk meraih dana murah,’ katanya. Untuk perusahaan tertutup? Itu sebabnya agar pasarnya berkembang, satu-satunya harapan adalah diambil alih oleh perusahaan yang lebih besar, termasuk perusahaan asing, meski dengan harga yang relatif murah.
Kendala serupa diakui oleh Rahmat Badrudin. Menurut dia, masalah pendanaan untuk ekspansi usaha memang selalu menjadi kendala bagi pebisnis teh. Padahal, masih banyak merek lokal yang potensial untuk dikembangkan, selain SariWangi. Ia lalu menyebut merek Bendera, yang saat ini menguasai segmen menengah-bawah untuk teh jenis serbuk (kemasan 50 gram sampai 100 gram). ‘Saya dengar sudah banyak yang melirik Bendera,’ bisiknya.
Bagaimana dengan AMDK? Meski peluangnya ada, pihak Aqua tampaknya akan sangat berhati-hati sebelum mengakuisisi. ‘Sangat riskan. Dengan market share 50%, kami khawatir bila mengakuisisi akan melanggar UU Antimonopoli,’ cetus Willy Siddharta, presdir PT Aqua Golden Mississippi Tbk. Okelah , cuma tentu masih banyak merek yang bisa diambil alih. Sebab, seperti ditegaskan pakar pemasaran Kafi Kurnia, ‘Perusahaan di Indonesia harganya sedang murah-murahnya.’ Lagi pula, pasarnya juga ada di sini. Jadi, beli merek, beli pabrik, dan sekaligus beli pasarnya.
Kondisi merek / bisnis yang akan dibeli perusahaan multinasional
- Perusahaan yang berada di core business yang sama, atau mendekati core business mereka
- Berasal dari sektor makanan dan minuman seperti biskuit, kembang gula, sirup, teh kecap bumbu dapur
- Punya merek yang memimpin atau minimal menduduki posisi lima besar dalam hal penguasaan pasar maupun yang paling diingat konsumen.
- Pabriknya memiliki standar internasional untuk dijadikan basis produksi di wilayah regional
- Pertumbuhan penjualan produknya dua digit per tahun
- Berpengalaman dalam industri terkait lebih dari 10 tahun
- Modalnya terbatas, sehingga tak bisa ekspansi atau berpromosi
- Rawan konflik antarpemilik, biasanya perusahaan keluarga
- Tak punya akses menembus pasar ekspor
Pustaka :
Genuk Triastuti dalam Refrinal. 2007. Strategi Akuisisi Merek dalam Marketing for Decision Maker. Kumpulan Artilek dan Kliping. Field Survey Indonesia. Jakarta
Orang tidak bisa memaafkan orang lain sama saja dengan orang yang memutuskan jembatan yang harus dilaluinya, karena semua orang perlu dimaafkan
Thomas Fuller