Kegilaan konsumen mobil pada merek tertentu umumnya didasarkan atas pengalaman mereka dengan merek tersebut. Untuk mengubahnya, tak cukup dengan belanja iklan gila-gilaan, tetapi dengan perbaikan kualitas produk. Sebuah hasil studi yang diturunkan
Gila merek? Anda pasti tak asing pada julukan semacam ini. Ia dikenakan pada orang yang memuja suatu merek sebegitu rupa, sehingga menganggap produk apa pun dengan merek pujaannya itu, pasti oke dan nomor satu. Banyak konsumen yang masuk ke dalam golongan ini. Dan, kalangan produsen mobil menyadari betul hal itu. Itu sebabnya, merek adalah salah satu kunci pemasaran yang penting di industri ini. Menghabiskan porsi belanja yang sangat besar untuk membesarkan merek sudah menjadi keharusan.
Namun, jangan salah kira bahwa iklan gila-gilaan bisa mendongkrak sebuah merek, khususnya di industri otomotif. Sehebat apa pun sebuah iklan tentang mobil, ia tak kan bisa memanipulasi persepsi konsumennya tentang merek yang diiklankan tersebut. Julukan ‘gila merek,’ yang berkonotasi tidak rasional, justru rasional bila hal itu menyangkut konsumen mobil. Sebab kegilaan mereka pada suatu merek tertentu, bukan mereka bangun berdasarkan iklan-iklan bombastis. Persepsi mereka tentang merek mobil didasarkan pada pengalaman, langsung atau tidak langsung, dengan merek-merek dimaksud.
Konsumen mobil bahkan sangat teliti dan cerewet manakala mereka menentukan pilihan merek yang mereka sukai. Ketika akan membeli sebuah mobil, mereka lazimnya mengumpulkan informasi secara serius. Mereka membaca majalah-majalah khusus tentang mobil. Mereka juga tak segan menanyakan orang yang sudah berpengalaman dengan merek yang akan mereka pilih itu. Bila perlu, mereka juga berkonsultasi kepada orang yang mereka anggap ahli.
Sebuah studi yang dilakukan Evan Hirsh, Steve Hedlund dan Mark Schweizer di jurnal Strategy & Business baru-baru ini menerangkan hal itu. Menurut studi yang mereka beri judul Reality is Perception: The Truth about Car Brands, konsumen mobil mempunyai cara yang sederhana namun canggih dalam membedakan berbagai merek mobil. Para konsumen, menurut mereka, pada umumnya menghabiskan cukup banyak waktu untuk mempertimbangkan berbagai alternatif merek ketika berencana membeli sebuah mobil.
Disamping mendasarkan penilaiannya pada pengalaman pribadi mereka, para konsumen juga pada umumnya berkonsultasi dengan teman atau keluarga, membaca ulasan independen di majalah-majalah tentang mobil, memperhatikan pendapat pakar-pakar di industri tersebut, dan banyak lagi sumber lain. ‘Pada umumnya konsumen mempunyai informasi yang sangat memadai (well informed) dan pendapat mereka sangat akurat dalam menggambarkan kinerja produk dari merek-merek yang mereka amati,’ tulis studi tersebut.
Maka agar dapat lebih efektif mengkomunikasikan nilai-nilai merek,studi ini menyarankan agar para produsen mobil lebih dalam lagi memahami bagaimana konsumen membuat penilaian terhadap merek-merek di industri tersebut. Menurut studi itu, persepsi konsumen mobil pada umumnya tepat, stabil dan relatif kebal terhadap manipulasi (dari iklan atau promosi lainnya). Jika di industri barang konsumsi nilai suatu merek sangat ditentukan oleh iklan, di industri otomotif sedikit berbeda. Persepsi konsumen otomotif tentang suatu merek justru sangat ditentukan oleh kualitas produk-produk yang mengusung merek itu sendiri.
PERHATIKAN DUA ATRIBUT UTAMA
Selama ini, dalam membangun merek, para produsen mobil umumnya memberi nilai tambah pada merek masing-masing dengan cara menciptakan atribut-atribut citra (image attributes). Itu dilakukan dengan harapan hal itu akan memberi keunggulan dan perbedaan pada merek mereka dibanding merek pesaingnya. Sebagai contoh, data dari Allison-Fisher Barometer of Automotive Awarness and Imagery Study (Studi ini menjadi sumber data primer bagi studi yang dilakukan oleh Evan Hirsh dan kawan-kawan) menyajikan 24 atribut spesifik dalam membandingkan berbagai merek mobil. Beberapa diantara atribut itu misalnya adalah tingkat kesempurnaan untuk dikemudikan (excellent ride), indah dilihat (good looking), program jaminan yang baik (good warranty program), dan sebagainya.
Namun, kendati ada puluhan atribut yang bisa digunakan membedakan satu merek dengan merek lain, studi itu menyatakan bahwa konsumen pada dasarnya mempunyai pendapat yang konsisten dari satu atribut ke atribut lainnya. Misalnya, konsumen yang menganggap merek A mempunyai reputasi yang hebat dalam hal kemewahan dan prestise, mereka juga cenderung menganggap merek A baik pula pada atribut-atribut lain, semisal keamanan, keandalan mau pun kenyamanannya.
Besarnya korelasi antara satu atribut dengan atribut lain, menurut studi itu, membuat persepsi konsumen tentang merek mobil sebenarnya dapat disederhanakan hanya menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah atribut-atribut yang mencerminkan kesempurnaan produk (product exellence) dan kategori kedua adalah atribut-atribut yang berkaitan dengan total biaya kepemilikan (total ownership cost), termasuk harga. Menurut studi itu, dua kategori utama ini menentukan 91% persepsi konsumen dalam membedakan merek satu mobil dengan yang lainnya. Sisanya, yang disebut sebagai atribut sekunder, tak begitu menentukan. Hanya beberapa yang bisa dikatakan mempunyai signifikansi tertentu untuk merek tertentu, semisal atribut ‘sporty’ untuk merek BMW.
Tentang biaya, menurut studi itu, konsumen juga cukup cerdas untuk tak hanya menilai biaya pemilikan sebuah mobil dari harga belinya saja. Konsumen sudah umum memasukkan juga berbagai biaya lain, semisal biaya pemeliharaan, biaya operasi dan termasuk pula harga jualnya di pasar sekunder. Adanya dua kategori utama ini, dapat memudahkan produsen mau pun konsumen untuk mengelompokkan berbagai merek dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Bagi produsen, pengkategorian itu dapat membantu mendefenisikan siapa yang menjadi pesaing utamanya atau segmen pasar mana yang seharusnya ia bidik. Dalam studinya itu, Hirsh kawan-kawan membuat pemetaan terhadap sejumlah merek mobiL berikut dengan penilaian mereka.
Sangat jelas, merek yang bernilai paling rendah bagi konsumen adalah merek yang menawarkan product exellence yang rendah tetapi dengan biaya kepemilikan yang (relatif) tinggi. Merek-merek yang dikelompokkan ke dalam kategori ini cenderung tak mendapat perhatian konsumen yang mengakibatkan penjualannya tak pula meningkat. Tak dapat dipungkiri, untuk meningkatkan product exellence perlu waktu yang panjang. Karena itu, menurut studi Hish dan kawan-kawan, satu-satunya cara untuk menaikkan daya saing bagi merek-merek dalam kelompok bernilai rendah tadi adalah dengan menurunkan harga.
POSISI MEREK BISA BERUBAH
Tentu saja, persepsi konsumen bukan lah sesuatu yang statis. Persepsi tersebut dapat berubah. Namun, karena konsumen pada umumnya rasional dan mendasarkan persepsinya terutama pada pengalaman, maka perubahan persepsi itu harus dibangun lewat pengalaman konsumen pula. Menurut studi Hish dan kawan-kawan, walau komunikasi pemasaran berperan penting dalam mempengaruhi cara berfikir konsumen, langkah yang paling berarti untuk mengubah persepsi mereka hanya lah dengan mengubah pengalaman mereka terhadap produk-produk yang mengusung berbagai merek tersebut. Artinya, persaingan antarmerek di industri mobil lebih merupakan fungsi kinerja produk ketimbang persaingan antarmerek an sich. Karena itu, upaya untuk memenangkan persaingan harus lebih berfokus pada peningkatan kualitas produk.
Dan, memang itu lah yang tampaknya terjadi. Dalam dua dekade terakhir, sebagian besar pabrikan mobil tak berhenti melakukan peningkatan kualitas produk, mengembangkan berbagai fitur-fitur baru dan mengurangi biaya. Mereka saling adu cepat untuk merespons langkah yang dilakukan pesaingnya. Karena demikian ketatnya persaingan, untuk melakukan peningkatan kualitas itu dibutuhkan strategi yang serasi dari berbagai unsur.
Ambil contoh Volkswagen (VW). Pada akhir 1990-an, VW secara mantap meluncurkan serangkaian produk baru yang dengan signifikan mengubah persepsi konsumen tentang merek mereka. VW menggunakan teknologi yang dipakai oleh Audi di berbagai area, mulai dari kemasan mesin, penyetelan chassis (chassis tuning) dan sebagainya. Sebagai hasilnya adalah serentetan produk baru, termasuk Jetta, Passat dan New Beetle yang menawarkan kualitas superior pada berbagai atribut yang mendukung kesempurnaan produk.
Seperti juga VW, merek Hyundai dan Kia telah pula terangkat oleh mengalirnya berbagai produk baru mereka yang menawarkan peningkatan kualitas secara signifikan, terutama bila mengingat harganya yang sangat rendah dan diperluasnya lingkup garansinya. Sebagai hasil dari reposisi nilai merek itu, Hyundai dan Kia bukan hanya meningkatkan persepsi konsumen tetapi juga penjualannya.
Pustaka :
Eben Ezer Siadari dalam Refrinal. 2008. Memahami Mereka yang Gila Merek dalam Marketing for Decision Maker. Kumpulan Artikel. Field Survey Indonesia. Jakarta
Mereka berkata bahwa setiap orang membutuhkan tiga hal yang akan membuat mereka berbahagia di dunia ini, yaitu; seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan
Tom Bodett
Tom Bodett