Dengan terlibatnya sumber daya manusia (SDM), khususnya karyawan front depan perusahaan dalam kegiatan customer service atau marketing, perhatian terhadap karyawan internal menjadi penting dan relevan. Beberapa pakar bisnis mengeritik sikap manajemen yang menerapkan program manajemen perubahan (change management) dengan hanya mengutamakan 'komitmen eksternal' dan mengenyampingkan 'komitmen internal.'
C. Argyris berpendapat bahwa organisasi-organisasi (bisnis) perlu menciptakan kondisi kerja yang mendorong komitmen internal dan menyadari bahwa moral dan pemberdayaan merupakan sasaran penunjang kerja.
C. Argyris berpendapat bahwa organisasi-organisasi (bisnis) perlu menciptakan kondisi kerja yang mendorong komitmen internal dan menyadari bahwa moral dan pemberdayaan merupakan sasaran penunjang kerja.
Tepatlah pandangan bahwa sulit mengharapkan perhatian atau komitmen karyawan yang tidak puas atau tidak berdaya terhadap pihak eksternal, seperti konsumen. Richard S. Johnson menekankan pentingnya memahami bahwa terdapat korelasi positif antara pemuasan kebutuhan konsumen internal dan konsumen eksternal: 'Karyawan yang tidak diperlakukan benar tidak dapat diharapkan untuk memperlakukan konsumen eksternal secara berbeda.'
Karyawan berdaya biasanya bermotivasi tinggi dan menaruh perhatian dan komitmen dalam melayani konsumen. Karyawan yang berdaya memiliki nilai tambah, terutama karena: Pertama, memiliki tingkat kebebasan dan wewenang dalam pengambilan keputusan. Kedua, memiliki kompetensi berdasarkan berbagai keterampilan yang dibekali dalam menjalankan tugas. Ketiga, mendapat perlakukan sebagai mitra kerja pimpinan/manajemen. Keempat, terpenuhinya berbagai kebutuhan sebagai individu dalam bekerja dengan dukungan sistem/administrasi SDM yang baik.
Johnson menyarankan langkah-langkah serupa dalam mengupayakan kepuasan internal yang sebenarnya merupakan langkah pemberdayaan karyawan. Yaitu, kepuasan internal dapat dicapai dengan cara-cara berikut: membangun tingkat manajemen partisipatif yang tinggi, desentralisasi struktur kekuasaan hirarkis, menciptakan otonomi berderajat tinggi dalam organisasi, dan akhirnya mengembangkan kelompok kerja efektif.
Karyawan yang berdaya adalah mereka yang berbagai kebutuhan dasarnya telah terpenuhi, sehingga memiliki komitmen internal. Kondisi kerja yang dapat memenuhi kebutuhan dasar karyawan mencakup pengakuan terhadap prestasi kerja, kebebasan berpikir dan bertindak mandiri, kesempatan berkembang dalam perusahaan, gaji dan benefit yang lebih tinggi, promosi, keamanan kerja, status, dan sebagainya (SG Haines).
Jika pemberdayaan berdampak langsung terhadap CS, maka pemberdayaan berdampak tidak langsung terhadap mutu produk atau jasa. Perangkat manajemen yang terfokus pada kualitas produk/jasa adalah total quality management (TQM), yang menekankan kualitas produk, continuous improvement, dan kepuasan konsemen.
TQM mengandung unsur perberdayaan yang menonjol. Heloisa Fragoso menunjukkan peran karyawan dalam pengendalian kualitas produk sebagai berikut: 'Dr W. Edwards Demming, ahli statistik dan pejuang kualitas, menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kualitas, proses produksi harus dikontrol pada saat terjadi daripada koreksi sesudahnya. Dia menyimpulkan bahwa orang-orang terbaik untuk melakukan pengontrolan adalah para pekerja itu sendiri.'
TQM menanamkan sikap mental yang tidak hanya mengutamakan konsumen luar tetapi juga konsumen internal. Karyawan satu sama lain merupakan konsumen bagi sesama karyawan. Pendekatan TQM yang menekankan internal services ini mengandung unsur pemberdayaan yang sangat jelas.
Pemberdayaan SDM merupakan salah satu jawaban. Dengan pemberdayaan, karyawan mendapat tanggung jawab dan wewenang/power untuk melakukan pengambilan keputusan tanpa harus menunggu persetujuan atasan. Dalam konteks marketing, khususnya CS, karyawan yang memiliki wewenang dengan tingkat kompetensi yang berimbang dapat langsung mengambil keputusan dalam menghadapi konsumen.
Heloisa berpendapat bahwa 'karyawan yang berdaya dapat membuat keputusan dan saran yang akan down the line peningkatan pelayanan dan dukungan, penghematan uang, waktu, dan perselisihan antara perusahaan dan konsumen (Sitterly). Pemberdayaan karyawan yang cakap akan memberi exceptional customer service di beberapa pasar yang kompetitif, sehingga akan meningkatkan laba melalui repeated business (Potochmy).
AMBIL KEPUTUSAN CEPAT
Konsumen menyukai karyawan yang dapat mengambil keputusan cepat daripada harus menunggu keputusan dari atasan yang memakan waktu. Beberapa studi mengenai aspek pemberdayaan dalam CS menunjukkan bahwa konsumen lebih suka berhubungan dengan karyawan yang memiliki wewenang untuk menangani sendiri berbagai pengaturan dan keberatan tanpa harus sering bertanya pada penyelia mereka (Boone & Kurtz).
Konsumen menginginkan kebutuhan mereka dipenuhi tanpa harus melewati berbagai lapisan untuk mendapat persetujuan. Konsumen menginginkan keputusan di tempat (Sitterly). Karena itu, tepatlah pendapat bahwa pemberdayaan mendekatkan perusahaan dan produk dengan konsumen/pasar.
Selain konsumen, karyawan sendiri dan akhirnya perusahaan merasakan manfaat pemberdayaan. Dengan mendapat kepercayaan untuk mengambil keputusan, karyawan akan memiliki rasa percaya diri dan melayani konsumen secara lebih baik, sehingga menjamin kepuasan dan loyalitas konsumen.
Dr. Sanjay mengilustrasikan manfaat pemberdayaan karyawan dalam CS, yaitu: 'Ini memungkinkan mereka berada di belakang pengambilan keputusan, menanggung risiko, berpartisipasi, dan bertindak. Ini merupakan pemecahan win-win: konsumen memperoleh manfaat dari karyawan yang cakap dan pintar, organisasi memperoleh manfaat dari konsumen yang puas dan karyawan yang cakap dan pintar; dan karyawan memperoleh manfaat dari peningkatan keyakinan diri dan harga diri mereka (Sitterly).'
Dalam pengembangan marketing, melalui CS, manajemen perlu menerapkan pemberdayaan SDM demi terciptanya kepuasan karyawan yang berdampak positif terhadap external services. Langkah pemberdayaan dalam rangka CS itu meliputi:
Pertama, pendelegasian wewenang kepada karyawan yang berada di garis depan. Kedua, peningkatan kompetensi karyawan dalam memberi pelayanan melalui pelatihan dan pengembangan CS. Ketiga, perekrutan karyawan yang memiliki service minded, karena sering lebih efektif ketimbang pelatihan terhadap staf yang kepribadiannya tidak berorientasi melayan (Clutterbuck dan Kernaghan).
Langkah-langkah tersebut masih berada dalam kendali manajemen yang dapat menciptakan komitmen internal dari karyawan, selain penciptaan kondisi kerja yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan hakiki karyawan.
Berbagai studi pakar bisnis, seperti Mary Hocutt dari College of Business, Stanford University, dan Thomas Stone dari Oklahoma State University pada 1998 memperkuat pemikiran bahwa kepuasan internal menjamin kepuasan konsumen.
Kesimpulan studi mereka adalah, pertama, karyawan sewaktu diberi otonomi dan pelatihan yang tepat untuk menangani berbagai masalah perbaikan pelayanan, cenderung memiliki kepuasan. Kedua, kepuasan konsumen datang lebih cepat saat masalah perbaikan pelayanan dipecahkan oleh karyawan yang responsif dan memiliki empati.
Pustaka :
Ronald Nangoi. 2007. Komitmen Internal dalam Customer Service. Marketing for Decision Maker. Artikel Kumpulan. Field Survey Indonesia. Jakarta
Kita ada disini bukan untuk saling bersaing. Kita ada disini untuk saling melengkapi
Bill McCartney
Bill McCartney