Kita Bukan Bangsa Babu

Beberapa waktu yang lalu, Pak Jamil Azzani, penulis buku ‘Kubik Leadership’ dan the platinum member in heart for everybody in PROFEC’S MILIST, berbagi pengalaman dengan kita semua tentang Kubik Leadership di Negeri Brunai Darusalam, sebuah negeri yang sangat kaya, bahkan konon khabarnya memiliki pendapatan perkapita tertinggi di dunia saat ini, yaitu senilai USD 30.000/orang pertahun.
Sebagai bagian dari komunitas PROFEC dan lebih dari itu, sebagai bagian dari anak bangsa, sungguh saya merasa bangga dengan terobosan yang dilakukan ‘Kubik Leadership’ menjadi duta bangsa yang insya ALLAH menjadi sebuah awal yang baik, mengembalikan kebesaran bangsa.
Namun, terlepas dari kekaguman itu, yang menyita dan menyentak perhatian saya adalah bagian dari narasi yang menyatakan, bahwa ‘Negeri kecil yang kaya raya itu’ mengenal dan menyebut kita sebagai ‘Bangsa Babu’ sebuah sebutan yang cukup menjadi alasan bagi kita semua untuk kembali berfikir dan merenungkan kembali, apakah benar kita adalah bangsa babu? Sejauh mana keakurasiannya? Apakah dapat kita terima ‘sebutan itu’ secara mentah? atau mungkin kita sendiri mulai berfikir, dan membenarkan bahwa sesungguhnya kita ’bangsa babu’ dan mulai menarima ’sebutan itu’ sebagai bagian dari ’akhir perjalanan sebuah bangsa’?
Tuan-Tuan yang mulia, dengan segala keterbatasan pengetahuan dan akhlak yang saya miliki, Izinkan saya menyatakan pendapat tentang hal, paling tidak dari sudut pandang saya sebagai ’salah satu shareholder’ bangsa, yang hingga kini begitu saya cintai, dengan segala kebanggaan sebagai anak negeri dan Bumiputera. Namun sebagai catatan awal, saya hanya mengajak semua kita meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, berdasarkan proporsi yang sebenarnya, tanpa sedikitpun mencari pembenaran. Karena sesungguhnya belajar dari sebuah kesalahan, kemudian memperbaikinya dan ’improve’ seiring dengan berjalannya waktu, maka itu jauh lebih mendatangkan kemuliaan, dibandingkan hanya diam membisu, menerima mentah-mentah, bahkan menikmati ’pujian itu’ sebagai bagian dari ’takdir sebuah bangsa’.
Jika kita menegok ke belakang perjalanan negeri ini, maka sungguh kita adalah bangsa yang sangat besar, negeri yang terdiri dari hampir dua puluh pulau yang besar dan kecil, dan dua pertiga dari luas wilayahnya adalah lautan. Oleh karenanya negeri ini disebut sebagai NUSANTARA, yang berarti pulau-pulau (nusa) yang berada diantara lautan dan samudera.
Sebuah negeri yang sangat strategis, terletak diantara dua benua dan dua samudera, dan sebuah negeri yang gugusan pulaunya merupakan gugusan pulau-pulau terbesar dunia. Negeri ini sangat terkenal dengan kekayaan alamnya, begitu subur dan makmur, gemah ripah loh jinawi, sehingga menjadi incaran dan ajang perebutan hampir semua bangsa di dunia.
Sejarah telah mencatat dengan baik, bahwa sangat tidak mudah menaklukkan nusantara itu, begitu banyak yang harus ’dikorbankan’ oleh bangsa yang ingin menjajah bangsa ini, karena setiap jengkal tanah akan dipertahankan dengan darah dan nyawa. Kalaupun mereka bisa menjajah negeri ini, penjajah itu tidak akan pernah ’tenang’ karena mereka hanya bisa menguasai tanahnya, tapi tidak hati dan jiwa penduduknya, sehingga hampir setiap hari terjadi perlawanan dimana-mana, hampir diseluruh pelosok negeri, dari sabang sampai merauke. Dan sejarah masa lalu menorehkan tinta emas, yang akan diingat sebagai bagian dari sejarah bangsa-bangsa lain, bahwa di ’negeri babu’ ini pernah berdiri kerajaan-kerajaan besar yang kekuasannya hampir meliputi seluruh Asia Tenggara, yang jika diukur permukaan kekuasaan itu ’hampir seperempat’ luas permukaan bumi. Sebuah kebanggaan masa lalu, tapi apakah kini hanya menjadi kenangan?
Sejarah ’tak berhenti mencatat’ begitu banyak pahlawan yang lahir dengan kegagahan tak kenal menyerah, mati berkalang tanah hingga titik darah penghabisan, hanya untuk mempertahankan harga diri sebagai dan kehormatan sebagai bangsa, dan bangsa-bangsa di dunia akan mengenang ’bangsa babu ini’ sebagai bangsa pejuang, yang gigih memperjuangkan kemerdekaannya, dan menjadi satu diantara tiga bangsa di asia timur raya, selain Philipina dan Vietnam yang memperoleh kemerdekaannya secara elegan, yang diperoleh seharga jutaan kusuma bangsa yang tak mati sia-sia. Apakah ini tinggal sejarah?
Cobalah bandingkan dengan sejarah ’negeri juragan’ seperti Malaysia dan Singapura, bahkan negara yang menyebut tanah gemah ripah lo jinawi ini sebagai ’negeri babu’ hingga kini, sungguh ’kebesaran mereka’ nyaris tidak sebanding dengan kebesaran ’negeri babu’ ini. Sejarah masa lalu hampir tidak mencatat kebesaran negeri itu, dan kemerdekaannya juga diperoleh dengan begitu mudah atas kebaikan ’Britania Raya’, nyaris tanpa darah dan sebagai kompensasinya hingga kini mereka tunduk kepada Inggris sebagai bagian dari negara-negara persemakmuran. Lalu dimana letak harga diri mereka sebagai bangsa? Dan dimana letak salah kita sebagai bangsa?
Tuan-Tuan yang mulia, mungkin sebutan ’negeri babu’ itu tidak sepenuhnya salah, jika kita mau membuka mata hati kita dan jujur mengakui fakta-fakta, yang mungkin menunjukan kenyataan bahwa ’hipotesa itu’ benar adanya. Cobalah kita lihat apa yang terjadi kini, dan pikirkan ini baik-baik dengan segala kelapangan hati. Negeri ’gemah ripah lo jinawi’ ini adalah satu-satunya negera pengimpor barang terbesar di dunia, termasuk barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, gandum dan sebagainya. Kita mengimpor beras dari Vietnam, yang jumlah penduduknya sepertiga dari penduduk Indonesia dan luas wilayah negaranya hanya seluas propinsi Kalimantan Timur, namun mereka bisa berswasembada pangan, bahkan berlimpah dan diekspor ke negara yang penduduknya 3 kali lebih besar dengan wilayah hampir sepuluh kali lebih besar. Lalu dimana letak kesalahan kita, padahal negeri ini adalah negeri yang subur, tanahnya terbentang luas dan kaya dengan unsur hara. Di sisi lain kita dianugerahi ’ALLAH’ kekayaan yang berlimpah baik kekayaan alam yang dapat diperbaharui (hutan, dsbnya) maupun keayaan alam yang tidak dapat diperharui (emas, minyak buni, tembaga, batubara, dsbnya).
Namun kita tetaplah negara yang miskin, dan keanehan itu menjadi semakin nyata, karena hanya di negeri ini orang berlomba-lomba dan bangga mengatakan dirinya miskin, bahkan ’bangga jadi orang miskin’ hanya untuk memperoleh BANTUAN LANGSUNG TUNAI dari pemerintah. Mereka telah menukarkan harga dirinya seharga seratus ribu rupiah tiap bulannya. Dan hal ini makin memicu konflik karena BLT itu menjadi sumber perpecahan dan permusuhan di masyarakat, karena mereka dengan bangga ’merasa lebih miskin’ dari yang menerima bantuan itu. Ini adalah ’fakta pertama’ yang mendukung hipotesis bahwa mungkin benar bahwa bangsa kita adalah ’bangsa babu’.
Fakta kedua yang ’makin mendukung hipotesa’ itu adalah kenyatan, bahwa ’manusia’ ternyata telah menjadi ’komoditi’ di negeri ini, dan kita tidak dapat memungkiri bahwa ’negeri babu ini’ adalah pengekspor orang terbesar di dunia. Dapat kita saksikan hampir di berita-berita di hampir seluruh media masaa, pagi, sore dan malam tentang pengiriman TKW & TKI yang tak memiliki keahlian, yang kemudian diperlakukan dengan tidak semestinya, disiksa, direngut kemerdekaannya sebagai manusia, diperkosa, bahkan tidak sedikit yang yang mati sia-sia. Dan ketika hal itu terjadi, bahkan ketika pulang tak bernyawapun pemerintah kita tidak bisa berbuat apa-apa, dan keluarga mereka terbungkam pasrah ’hanya senilai santunan’ dan hampir tak ada tindakan hukum atas orang yang telah melenyapkan nyawa putra-putri kita, karena mereka ’punya uang’
Gadis-gadis belia, dan pemuda-pemuda gagah ’pahlawan devisa itu’ adalah cermin kesalahan kita sebagai bangsa. Seandainya saja kita mau bersyukur dan ’tidak menerima hidup ini’ apa adanya, maka mungkin hal ini bisa kita hindari. Selama ini kita kurang menghargai ’hakikat dan hak dasar hidup manusia’. Lihatlah, apa yang bisa dilakukan pemerintah karena tak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar ’kekeliruan’ ini adalah bagian dari ’kesalahan pemerintah’ dalam mengelola negara. Mereka tidak pernah menghitung dengan cermat setiap akibat dari sebuah kebijakkan yang diambil. Kenaikan harga minyak itu mungkin tidak akan jadi masalah, jika pemerintah mampu menaikan indikator-indikaor ekonomi, menjamin kesejahteraan rakyat, menciptakan lapangan kerja yang cukup. Jika alasan menaikkan harga minyak itu hanya karena masalah ’Untung dan Rugi’ maka buat apa ada pemerintah? Bukankah merupakan ’amanah’ dan kewajiban azasi mereka sebagai pemimpin dan pengelola bangsa ini? Cobalah kita lihat akibat dari salah satu kebijakkan menaikan harga minyak itu. Inflasi terjadi hampir di setiap sektor mikro ekonomi, harga-harga naik sedangkan pendapatan penduduk tidak ada yang bertambah, bahkan pengangguran semakin tinggi. Bantuan langsung tunai seratus ribu itu, ’mungkin telah membantu’ 15 juta orang, namun telah menambah orang miskin sebesar 40 juta orang, karena pengangguran dan daya beli yang menurun. Apakah seimbang? Bukanlah lebih banyak mudharatnya dari pada ma’rifatnya? Jika ’prediksi ini benar’ maka dapat dikatakan bahwa pemerintah kita telah melakukan kejahatan pada rakyatnya. Namun apakah ini sepenuhnya kesalahan pemerintah? Tentu saja tidak! Kita pun turut berkontribusi atas ’kefatalan itu’ karena sebagai manusia dan bangsa, kita pun tidak menghargai diri kita sendiri, baik sebagai individu ataupun sebagai bangsa.
Cobalah lihat, apa yang terjadi di lingkup kehidupan kita akhir-akhir ini. Tayangan televisi, sinetron, infotainment, berita-berita di media massa adalah sebagian kecil dari contoh kecil yang bisa kita sorot. Karena media-media itu seakan menjadi ’acuan’ bagi setiap kita untuk mencontoh dalam berperilaku. Anak-anak kita, menikmati semua tayangan itu, bahkan anehnya ’pembelajaran itu’ diperdalam dalam bentuk acara, yang merekam sebuah kejadian kriminal, bagaimana merencanakan dan merealisasikan sebuah pembunuhan, pemerkosaan, dan kejahatan-kejahatan lainnya tanpa sensor sama sekali. Anak-anak kita akan tumbuh dan merekam semua peristiwa itu dalam hidupnya, bahkan tidak mustahil terpengaruh dan mencoba mempraktekkan ’apa yang mereka tahu’ itu menjadi sebuah aplikasi. Apakah kita masih tetap diam?
Coba perhatikan acara sahur hampir di semua stasiun televisi, di bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmah ini. Semua pelawak kesohor di negeri ini berlomba menarik pemirsa menjadi pembawa acara yang dikemas semenarik mungkin, sedemikian rupa sehingga menarik pemirsa. Dan daya tarik itu akan dirating dan menjadi acuan dasar untuk menentukan harga sebuah iklan dan sebagai suatu strategi untuk menarik sponsor. Namun coba telaah lebih dalam lagi, yang paling menyedihkan bahwa ’materi lawakan itu’ hampir semunya menyorot kecacatan fisik seorang manusia. Para pelawak itu mencari nafkah dengan saling menghina, saling merendahkan, termasuk merendahkan dan menghina diri sendiri. Dan kita menikmati ini sebagai sebuah hiburan, dan anak-anak kita ’meniru’ nya dan mengimplementasikannya dilingkungan dimana mereka berada, yang pada akhirnya menciptakan permusuhan. Padahal ALLAH saja yang telah menciptakan, tidak pernah merendahkan harkat mereka sebagai manusia kecuali memuliakannya. Saya termasuk yang yakin bahwa proses penciptaan manusia itu dilakukan ALLAH dengan maha adil. Jika diformulasikan dengan sebuah hukum fisika-kimia, maka kalaupun berbanding lurus ataupun berbanding terbalik, maka indeks penciptaan manusia itu adalah sama dengan satu dan sangat sempurna. Kalaupun ada yang buta, tuli, bisu, cacat fisik dan lainnya, maka ALLAH telah menganugerahi mereka dengan segala kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia normal. Dan ’kelebihan ityu’ hanya bisa terlihat melalui usaha yang keras, ikhtiar dan doa yang ikhlas. Hal ini pun berlaku pada manusia yang diciptakan sempurna fisik. Semua harus berusaha, berihtiar mencari rizki dan ikhlas menjadi bagian dari sebuah bagian komunitas yang saling membutuhkan.
Di bumi yang fana ini, kita pun harus menyadari bahwa kita tidak bisa sendiri, karena masing-masing individu sangat bergantung pada individu yang lain, untuk itulah proses kehidupan bermasyarakat itu harus didasarkan pada keikhlasan tanpa memandang suku, agama dan ras. Kadang kita tidak sadar ’pintu rizki’ besar kemungkinan dibukakan oleh orang lain, oleh karena itu apa yang dikatakan oleh Pak Andi Estetiono (Direktur PT Permodalan Nasional Madanii BMT) itu sangat patut kita camkan, bahwa kaya itu sebetulnya bukan diukur berdasarkan besaran materi, melainkan lebih pada aplikasi banyak memberi, dan ’memberi’ tidak harus dalam satuan uang, karena bertukar pikiran, memberikan inspirasi, membukakan pintu rizki dan meluangkan waktu bagi orang yang membutuhkan, sudah memenuhi syarat bahwa ’kita telah menjadi orang kaya’.
Apa yang kita lakukan untuk ’pemuda masa depan’ Jupiter adalah salah satu jalan menuju kesana, dan saya tak henti-hentinya mengajak kita semua utuk membantu pengobatan ibunya, kalaupun tidak turut mendokan sudah lebih dari cukup. Dari seorang pemuda yang ikhlas ini, kita bisa berkaca, betapa pentingnya meluangkan sedikit dari rezeki kita, yang sebetulnya ’menjadi hak mereka’.
Kembali ke masalah ’bangsa babu’ tadi, jika kita mampu membangun kembali bangsa kita dari awal, menggerakkan sektor real, mendirikan sekolah-sekolah yang tidak lagi menghasilkan lulusan yang siap mencari kerja (job seeker), namun siap menciptakan lapangan kerja (job creator), maka secara perlahan kita bisa menghapus image sebagai ’bangsa babu’ dan kita pun semestinya berikhtiar untuk ’mengembalikan hak-hak ALLAH’ dengan memparbaiki semua tatanan hidup, dna itu selayaknya dimulai dari keluarga, dengan mendidik anak-anak kita untuk mencintai semua ciptaan ALLAH, memuliakan, mencintai, mengasihi, tanpa pernah menghina dan merendahkan.
Diakhir tulisan ini, saya menghimbau untuk tetaplah bangga sebagai bagian dari bangsa ini. Karena ’negeri sekaya brunai’ tidaklah sekaya negeri kita. Mereka hanya melihat bangsa kita dari sisi satu sisi saja. Andaikan mereka mau membuka mata, dan jujur pada diri sendiri, maka seharusnya mereka ’menghormati bangsa kita’ yang hingga kini telah melahirkan orang-orang besar, yang selalu menghiasi dan mewarnai rona wacana dunia, dengan prestasi yang gemilang dari sisi pengetahuan dan hal-hal lainnya. Anak-anak kita berulang kali meraih mendali emas di olimpade fisika, matematika dan kimia. Anak-anak bangsa banyak menduduki posisi penting di percaturan dunia sebagai ilmuwan, cendekiawan dan pemikir. Dan negeri seperti Brunai mungkin tidak pernah mencatatkan prestasi putra bangsanya seperti kita. Negara-negara seperti Malaysia, Singapore, bahkan Brunai, bahwa ke ’negeri babu ini’ mereka banyak mengirimkan mahasiswanya untuk belajar di universitas-universitas di Indonesia, dan kemudian dijadikan bekal dan modal besar membangun negeri mereka. Majunya negeri mereka pun juga atas kontribusi yang sangat besar dari bangsa kita. Setiap mereka pasti tahu benar bahwa Menara Petronas yang megah, yang konon jika tinggi menara dimasukan sebagai hitungan akan menjadi gedung tertinggi dunia, yang menjadi ikon kebanggaan Malaya, diarsiteki oleh pemuda Indonesia, alumnus Institut Teknologi Bandung, dan lagu kebangsaan singapura ’Majulah Singapura’ juga hasil karya putra Indonesia. Jadi tidak ada satupun alasan bagi saya untuk tidak bangga sebagai bangsa Indonesia, karena kita tidak di didik untuk hidup dan bergantung pada kekayaan alam, seperti Brunai yang bergantung pada minyak, namun coba kita lihat hingga berapa lama minyak itu mampu menghidupi mereka. Kita selalu bekerja keras, dan cucuran peluh kita telah menyuburkan bumi, sehingga anak-anak kita benar-benar beroleh kehidupan dengan harta yang halal. Lalu ’apakah arti kebanggaan’ bagi sebuah bangsa jika kebanggaan itu ternyata adalah hasil karya bangsa lain. Sepatutnya ’bangsa itu’ malu dan berterima kasih pada ’babu-babu’ yang telah begitu berperan dalam perjalanan hidup keluarga mereka. ’Para babu’ itulah yang memasakkan nasi, mencucikan pakaian mereka, mengasuh anak-anak mereka dan menyuapkan mereka makanan bergizi. Babu-babu itulah yang selalu melindungi anak-anak mereka, dan sesungguhnya ’para babu itu’ jauh lebih berperan dibanding istri-istri yang seharusnya telah dikodratkan untuk menjadi ibu rumah tangga.
40 tahun kemudian, mungkin Brunai akan seperti Timor-Timor, jika tidak mau ’belajar dari bangsa babu ini’ dan kita akan kembali besar sebagai negara agraris yang maju, tidak lagi mengimpor beras dan tidak lagi mengekspor orang. 40 tahun lagi ladang-ladang kita, perkebunan-perkebunan kita, sawah-sawah kita, pertokoan, kampus, dan lapangan kerja yang terbentang luas, akan dihiasi oleh senyuman dan renyah tawa anak-anak gadis kita, pemuda-pemuda mandiri yang perkasa, benar-benar mandiri, dan ikhlas saling membantu, bersama berpegangan tangan menuju kemakmuran hakiki dan ALLAH pun akan memperoleh hak-haknya.
40 tahun lagi, jika negeri yang ’menyebut negeri kita sebagai negeri babu’ jika tak mau berbenah, dan terlena dengan kemanjaan atas kekayaan alam yang tidak diperbaharui itu dari saat ini, benar-benar akan merasakan ’menjadi negeri babu’. 40 tahun lagi kita akan melihat setiap jengkal tanah ditumbuhi oleh padi, gandung, coklat, cengkeh, pala, dan tanaman bernilai ekonomis tinggi dan hutan-hutan yang selalu commit menjaga jumlah kadar oksigen, sehingga putra-putri kita akan tumbuh cerdas berkualitas.
Saya sangat menyimpan harap, Pak Jamil Azzani, Sang Pangeran PROFEC, mau membuka mata mereka, bahwa sebagai bangsa kita menolak disebut ’bangsa babu’ dan paparkan kenyataan 40 tahun ke depan. Dan anda adalah satu bukti konkrit bahwa ’sesunggunya negeri mereka adalah negeri babu intelektual’ karena tidak memiliki orang sehebat anda. Mari kita bangun bangsa kita, menjadi bangsa yang bermartabat, perbaikilah semuanya dan itu dimulai dari diri kita sendiri.
Mohon maaf, mungkin terasa ’agak emosional’ namun sungguh saya mengakhiri tulisan ini dengan seyuman yang teramat ikhlas, terbayang indah ketika berumur 70 tahun nanti, Jika ALLAH berkenan memanjangkan umur, anak-anak kita, cucu-cucu kita, bahkan cicit-cicit kita adalah ’juragan di negeri sendiri’ dan ’juragan untuk negeri babu’. Kalau pun tidak, maka dialam sana kita akan tetap terseyum melihat kebahagiaan dan kemakmuran cucu-cucu kita. Mudah-mudahan hal itu makan membuat mereka menjadi generasi yang bersyukur dan bersahabat dnegan ALLAH.
Salam saya buat anda semua, mari kita jadikan setiap hari adalah HARI YANG TERBAIK! Jangan lagi kita terlena dengan ujaran ’hari esok lebih baik dari hari ini’ karena dalam aplikasinya selalu membuat kita malas, jengah dan tidak bersyukur. Jika kita bisa mengaplikasikan ’HARI INI YANG TERBAIK’ maka semua yang kita lakukan benar-benar maksimal dan terbaik, dan Insya Allah bernilai ibadah karena kita benar-benar bekerja bersungguh-sungguh ’berjihad’ mencari rezeki di Bumi Allah ini. Ingatlah, bahwa belum tentu kita hidup di hari esok, karena kematian itu datang pada waktu yang tidak disangka-sangka.
Untuk Jupiter bersabarlah, yakinlah kita semua di milist ini akan berusaha membukakaan jalan untukmu, anak hebat dari masa depan. Jaga Ibu dan kedua adikmu, sungguh saya bangga padamu. Semoga DIA melapangkan jalan, membukakan ’keikhlasan’ pada setiap orang untuk membantumu. Kalaupun ’takdir berkata lain’ maka hadapilah dengan sabar dan tersenyumlah selalu, paling tidak waktu akan mencatat bahwa sesungguhnya kamu adalah anak yang baik, berbakti dan sangat bertanggung jawab. Hidup ini sangatlah adil, karena jika kamu ’tidak memperoleh hak-hakmu’ selama hidup di dunia, maka yakinlah bahwa ALLAH akan mengembalikan hak-hakmu itu diakhirat. Jadilah anak yang baik, berdoalah dan berusahalah agar selalu berada di jalan yang benar. Hanya dengan itulah, harapanmu mengumpulkan keluargamu menjadi keluarga kembali di surga nanti, akan terealisasi. Jika beban dihatimu terlalu berat, maka tataplah langit, ikhlaskanlah dan biarkan ALLAH mengangkat beban itu ke langit.
”Tidak ada cara lain untuk membuat suatu keadaan menjadi lebih baik, kita harus berubah menjadi lebih baik. Hari ini akan tetap seperti hari kemarin, jika kita tidak melakukan apa-apa”.