Kenang-Kenangan Hidup

Teruntuk sahabat-sahabatku:
Fahri Saleh, Bilhan Alfredo Elsafan Pattikawa, Salmon Haumahu, Restia Christianti, Peter Sahupala, Domilda Pesurnay, Andi Fredriksz, Rnyelda Latuheru, Salnida Yuniarti Lumbessy, Syamsuddin Wagola, Eugene Feni Ririmase, Steven Sitanayah, Hery Liana, David Choose Tulak, Marselina Huliselan, Lilian Loppies, Johana Lisapaly (alm), Yani Ekawati Moyo (alm), Junaided Latuhamallo, Andreas Risakota, Amsar Bakhtiar, Carolina de Fretes, dan semua sahabat alumnus SMP Angkasa Ambon (1988), SMA Negeri 3 Ambon (1994) dan semua yang ada dalam kenangan.
Ternyata tulisan saya yang diberi judul ‘Kenang-Kenangan Hidup memberi reaksi yang sangat luas, dan Puji syukur hampir semuanya positif. Beberapa diantaranya meminta saya memberikan beberapa catatan diakhir tulisan sebagai buah pikiran, yang mudah-mudahan bias menjadi solusi. Namun karena keterbatasan pengetahuan saya pada Agama, akhirnya catatan itu hanyalah ujaran dari pokok-pokok pikiran.
Dari ‘Bumi Jihad’ Ambon, dimana saya kini berada, kembali saya rilist tulisan ini dengan revisi disana-sini. Mudah-mudahan dari sini kita bisa belajar, bahwa selama kita mau menjalankan semua ajaran langit, berdasarkan keyakinan yang kita miliki, maka kedamaian ada dimana-mana. Dan jika kedamaian itu diracik dengan ketulusan, kebersamaan dan penuh rasa syukur, maka alangkah indanya hidup ini.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk temen-temen saya, yang ‘telah syahid’ di Bumi Jihad, yang jumlahnya hampir tak terhitung. Namun kenangan mereka selalu hidup dalam ingatan saya sepanjang hayat. Semoga di syurga kelak kita bisa bertemu, dan kembali bersahabat. Dan persahabatan kita saat itu, HANYA KARENA ALLAH!
Hari ini lebaran!.
Sebuah hari yang dijanjikan dan dianugerahkan ALLAH hanya bagi orang-orang yang menang. Dan siapa orang-orang yang menang itu? Hanya ALLAH saja yang tau, karena manusia tidak memiliki kekuasaanuntuk menilai sebuah ibadah, keikhlasan dan segala sesuatu yang menyangkut aturan termasuk shalat, puasa, zakat dan haji.
Bagi setiap insan dan hampir setiap muslim, Idul Fitri itu adalah sebuah hari yang begitu dinantikan, puncak dari sebuah penantian bagi orang-orang yang sebulan penuh menahan segala napsu, termasuk didalamnya menahan haus dan lapar. Namun apakah setiap orang yang sukses melewati 30 hari berpuasa itu secara online dapat dikatakan telah kembali ke fitrah? Hanya ALLAH yang tahu, karena dialah yang memiliki kekuasaan atas manusia, bumi dan langit. Sungguh ALLAH itu maha baik, dan DIA menyukai hal-hal yang baik.
Tuan-tuan yang mulia,
Idul Fitri, hari kemenangan dan penuh dengan kemuliaan itu telah menorehkan catatan tersendiri dalam hidup saya. Catatan itu tertoreh melekat dalam dasar jiwa, menjadi catatan hidup, kenangan dan ingatan sepanjang hayat. Hingga kini saya masih menyimpan harap, agar catatan itu diakhirat nanti ’menjadi bahan obrolan’ dengan si pemilik hidup, ALLAH AZZA WAJA’LA. Cerita berikut ini, saya ambil dari catatan tentang kejadian Idul Fitri 7 tahun lalu di kota Ambon yang diwarnai kerusuhan. Banyak yang bisa kita petik dari kejadian itu, dan mudah-mudahan ada marifat yang bisa diambil.
Dan tak bosan-bosannya, saya mengajak anda semua untuk membantu Ibunda Jupiter, yang sedang Berjuang melawan Kanker Hati. Bayangkan disaat hari yang fitri, kita bergelimang dan memiliki kelebihan rezeki... disuatu tempat yang jauh ada seorang anak yang berjuang untuk Ibu dan kedua adik perempuan yang sangat dicintainya. Saatnya kita membuka nurani kita untuk membantu sesama dan menafkahkan harta yang kita miliki di jalan yang seharusnya. Dan saya yakin ALLAH akan membalasnya, sebanyak yang DIA janjikan. Bantulah Jupiter menyelamatkan Ibunya, karena Ibu bagi mereka begitu besar artinya dibanding apapun di dunia. Dan saya akan berterima kasih jika ada yang ikhlas membantu, paling tidak dengan doa.
Ambon 19 Januari 1999, Idul Fitri Ref......
Ketika itu usia saya masih tergolong belia, baru 22 tahun. Tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Institut Pertanian Bogor dalam tahap menyelesaikan skripsi. Lebaran itu adalah hari yang begitu ditunggu, dan biasanya perkuliahan dilalui dengan penuh ketidaksabaran ingin segera pulang menemui Ibu, ayah, saudara, tetangga, saudara dan temen-teman bergelut dimana berama mereka saya menghabiskan masa kecil dan tertawa lepas selepas lautan lepas. Dan untuk sampai ke rumah pada mas aitu butuh waktu dan perjuangan yang ’tidak mudah’ karena harus berjuang mendapatkan tiket kapal, yang jarak tempuhnya empat hari – empat malam dari Tanjung Priuk ke Pelabuhan Yos Sudarso Ambon dengan kapal laut. Pada masa itu mudik dengan pesawat adalah sebuah kemewahan yang nyaris tidak terjangkau pada kalangan mahasiswa yang berasal dari kalangan biasa saja seperti saya, dan kalaupun ada yang pulang dengan Garuda, Merpati, Mandala ataupun Sempati Air, maka sungguh dia pasti berasal dari kalangan yang sangat terpandang di Ambon. Namun bagi saya perjalanan itu menjadi ’amazing experience’ karena mendapatkan begitu banyak teman baru dari berbagai ragam kalangan dan setiap kapal merapat di kota pelabuhan yang disinggahi, Surabaya, Makassar dan Bau Bau. selalu ada waktu 2-4 jam bagi kami untuk berpesiar bersama orang-orang yang baru dikenal dengan penuh persahabatan. Bersama-sama melihat kota-kota yang permai itu, beli baju di Surabaya, Beli markisa di Makassar dan Makan ikan bakar yang segar dan lezat di bau-Bau. Bahkan ’perkenalan’ itu berpeluang besar menjadi sebuah persahabatan bahkan persaudaraan yang sangat ikhlas, tercermin dari surat-menyurat dan hubungan telepon yang dilakukan pasca pertemuan. Bahkan suatu masa terealisasi tulusnya persaudaraan itu dengan silaturahim yang terjalin ketika saling berkunjung, rumah mereka adalah rumah saya dan sebaliknya. Indah bukan?
Kapal yang ditumpangi pada masa itu ’bukanlah kapal sembarangan’ karena pada masanya kapal itu merupakan kebanggaan setiap orang yang menaikinya. Bahkan kapal itu adalah kebanggan negeri ini karena kemewahan dan kegagahannya. Kebesaran ’armada’ itu tergambar dari nama-namanya yang diambil dari nama-nama gunung tertinggi di negeri ini, KERINCI, KAMBUNA, DOBONSOLO dan RINJANI. Dan dikapal itu ada kelas-kelasnya, dan masing-masing kelas dibedakan dari jumlah penumpang dalam kamar, fasilitas layanan dan makan. Dan adalah kenyataan bahwa ’peng-kelasan’di kapal juga mempengaruhi pergaulan di kapal. Kelas terbaik di kapal itu adalah kelas I, dengan kamar yang sangat luas, berpenghuni dua orang, kamar mandi pribadi, televisi, dan fasilitas makan pagi-siang-malam yang bisa diantar ke kamar. Kelas yang paling rendah adalah Kelas IV, dengan kamar yang dihuni oleh 8 orang, kamar mandi d luar yang digunakan ’berjamaah’ dengan kamar yang lain, namun makan di ruang makan yang cukup baik tanpa antri. Dibawah kelas IV ada sebuah kelas namanya Kelas Ekonomi, dimana penumpangnya ditempatkan di sebuah barak mirip militer, dan satu barak itu ditempati kira-kira 400 orang, dan penumpang kelas ekonomi ini juga diberi makan layaknya tahanan, ngantri berjejer ratusan meter melingkar dan piring makannya pun persis seperti piring makanan tahanan. Untuk mendapatkan makan saja perlu antri paling sebentar 1 jam Dan pada jam-jam mandi suasana kamar mandinya persis seperti suasana permandian ’di pancuran’ Rame! Dan jorok! Terbayang hiruk pikuknya kehidupan selama 4 hari – empat malam disana. Kasar, kotor dan keras! Karena setiap orang harus menjaga barangnya sendiri, dan lenggah sedikit berarti kehilangan harta. Jadi sangat beruntung orang yang berangkat tidak hanya sendiri, apalagi serombongan! Jadi setiap waktu ketika jenuh melanda bisa jalan-jalan mengelilingi kapal tanpa kuatir barang hilang.
Pada masa itu, kami keluarga yang cukup berada dan terpandang di desa Tawiri, Kecamatan teluk Ambon Baguala, Kotamadya Ambon. Jaraknya 40 kilometer engan perjalanan darat, namun kurang dari 3 Km dari perjalanan laut karena diseberang teluk dimana kami tinggal adalah Kota Ambon. Dibanding temen-teman seasal yag bahkan ada tidak bisa pulang sampai lulus karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan, saya termasuk anak yang beruntung. Sesulit-sulitnya keadaan, Ibu selalu mengirimkan saya uang untuk pulang ke ambon setiap liburan semester dan Idul Fitri. Betapa Ibu, tahu bahwa anak lelakinya ini berusaha melewati hari-hari menahan rindu padanya. Hampir setiap dua minggu Ibu mengirim surat bercerita tentang keadannya yang ’selalu baik-baik’ saja dan menceritakan betapa beliau sangat rindu pada saya.
Membaca surat Ibu benar-benar selalu ’mengharu biru’ karena ketika membaca surat Ibu, seakan-akan Ibu bicara langsung pada saya dan menatap dengan penuh rindu dan cinta. Dan sebulan sekali Ibu mengirimi saya rendang, dan setiap memakannya, air mata mengalir karena ’rendang’ itu adalah makanan yang jarang ada dirumah dan memakannya adalah sebuah kemewahan. Memang harus saya akui bahwa saya sangat mengasihi perempuan berhati mulia itu, dan sepanjang hidup saya selalu merindukannya. Tak ada yang lebih membahagiakan saya selama hidup di Bumi ini kecuali bertemu dengan Ibu sepanjang hari, mencium tangan, pipi dan keningnya ketika pamit kerja dan melihatnya tersenyum bahagia. Kelak jika ada rezeki dari ALLAH, saya ingin mengajak Ibu naik haji, berkunjung ke rumah ALLAH, dan di depan ’rumah-NYA saya berdoa, ’Ya ALLAH, panjangkan umurnya, bahagiakanlah hidupnya, jauhkanlah dari sakit dan susah’.
Ibu tahu kondisi kapal, maka Ibu selalu mengirimkan uang untuk membeli tiket kelas IV yang waktu itu seharga Rp 152 Ribu, kalo dibanding Kelas Ekonomi Rp 66 Ribu cukup signifikan berbeda. Sebetulnya sangat mewah karena makannya teratur tak perlu antri, kamar mandinya bersih, tempat tidur yang ’tak berebut’ dan yang penting barang bawaan aman karena setiap orang diberi lemari yang memiliki kunci. Namun hal yang satu ini, saya terpaksa tidak menuruti keinginan Ibu dan lebih memilih bejubel naik Kelas Ekonomi, karena saya sangat tahu betapa uang itu penuh dengan keringat dan air mata Ibu. Dan selisihnya Rp 96Rb bisa saya belikan oleh-oleh buat Ibu, dan saudara-saudara saya. Hingga kini Ibu tak pernah tahu hal ini, karena memang saya simpan rapat-rapat. Namun bukan hanya itu, saya sangat menikmati kebersamaan di barak itu, mengenal banyak orang, melatih kesabaran puasa dengan menjadi bagian dari antrian makanan yang beratus meter itu, saat sahur dan berbuka. Bersilaturahim dengan semua umur, dan alhamdulillah saya menikmati perjalanan itu dan ’menjadi artis’ karena selalu dikerubutin penumpang, terutama kalangan Ibu-Ibu dan para gadis.
Namun ’keajaiban-keajaiban’ muncul di barak itu. Menjadi kesayangan semua orang, para Ibu selalu menawarkan makanan yang mereka bawa dan kalaupun antri, banyak yang mau mengantrikan makanan buat saya. Barang-barang bawaan saya pun aman, karena dijaga oleh empat ratus orang! Hahahaha!.... fasilitas yang jauh melebihi kelas apapun di kapal itu, karena ketika sahur, berbuka dan taraweh selalu dijalani bersama-sama dengan orang-orang yang ’mendadak saudara’. Hari-hari itu indah dalam kenangan, penuh dengan tawa, canda dan cerita. Dari sana saya banyak belajar tentang hidup yang sesungguhnya, dan belajar bagaimana mengatasi setiap problema hidup.
Saya ingat benar pernah dalam suatu perjalanan kapal, saya bertemu dengan sepasang suami istri yang umurnya berkisar 50 tahun. Mungkin karena ’kondisi penumpang yang sangat berjubel’ mereka tidak kebagian tempat tidur. Karena ’tidak tega’ saya menawarkan tempat tidur yang saya peroleh dengan susah payah tadi, dan membujuk ’teman seranjang’ untuk mengikhlaskannya. Nama ’mendadak teman itu’ Andi Muhammad Hatta, seorang lelaki seumur yang berasal dari Takkalar. Dengan riang, kami bertukar tempat, dan membantu memindahkan barang kedua orang tua itu. Jadi pada malam itu resmi kami hijrah dari kasur yang hangat ke tikar yang dingin, namun kami tetap riang. Ternyata ’pengorbanan’ kami sepertinya dibayar mahal oleh kedua orang tua tadi. Hampir setiap saat beliau mengantarkan kami makanan, minuman dan buah-buahan. Saya berusaha mencegahnya, dan mengingatkan mereka bahwa mereka memerlukannya. Namun sepertinya mereka tidak perduli dan tetap mengirimkan kami makanan itu setiap harinya dan saya yakin semua yang diberikan pada kami adalah makanan yang ’berkelas dan mahal’. Saya jadi berfikir sendiri karena ini memperkuat dugaan ’mereka bukan orang sembarangan’ dilihat dari koper yang mereka miliki, pakaian yang mereka pakai, dan makanan yang mereka punya’. Diakhir cerita barulah terungkap ketiaka berpisah, penumpang istimewa itu adalah Bupati Maluku Tengah, yang tidak kebagian tiket pesawat bahkan ’tiket kelas I-IV’ di kapal itu. Sejak itu, persahabatan kami terjalin, kalau bertandang ke Masohi, Ibukota Kabupaten Maluku tengah’ saya tidur dirumahnya dan diperlakukan layaknya seorang anak. Alhamdulillah ya ALLAH.
Apapun kapal yang saya tumpangi, merapat di pelabuhan Yos Sudarso Ambon, selalu lewat tengah malam. Namun Ibu senantiasa sabar menanti di pelabuhan menjemput, dan ketika melihat saya celingak-celinguk Ibu tersenyum tulus memeluk, air matanya kembali membasahi pipinya yang mulai mengerut dimakan jaman. Pertanyaan pertama yang selalu beliau sampaikan, ’Ref, kamu sehat nak? Sudah makan?’ dan pertanyaan itu ternyata selalu beliau tanyakan hingga kini ketika saya pulang dari kantor bekerja dan ketika sampai kerumah telah terhidang semua makanan kesukaan saya, ikan gulai, rendang dan sup buatan Ibu. Jadi apakah ada alasan bagi saya untuk mengatakan ’ah’ pada Ibu? apakah ada?
Kembali ke awal, tahun 1999 saya tiba di Ambon beberapa hari sebelum Idul Fitri. Namun tahun ini akan menjadi catatan spektakuler sepanjang hayat saya di dunia. Waktu itu kami telah memiliki rumah lain di perkampungan muslim. Nama Desa itu ’Tulehu’ terletak di kecamatan salahutu, 50 Kilometer dari Kota Ambon. Sedangkan rumah yang selama ini kami tempati berada di perkampungan Kristen, bahkan kami adalah satu-satunya warga muslim di perkampungan itu. Namun walau kami satu-satunya muslim, namun keluarga kami sangat dihormati di tawiri, dihormati bukan karena kekayaan namun karena pergaulan dan rasa cinta Ibu pada mereka. Semua orang dengan senang hati membantu Ibu, bahkan tanpa diminta. Setiap musim durian dan musim apapun mereka selalu mengantarkan beberapa ke rumah kami. Rupanya Ibu sudah menjadi Ibu buat mereka, dan ini adalah suatu alasan bagi saya untuk tenang belajar di Bogor, karena Ibu dijaga oleh orang sekampung!!.
Demikianpun di tempat yang baru, Tulehu. Ibu seakan menjadi Ibu orang sekampung, sepanjang jalan beliau disapa oleh hampir semua orang dengan penuh rasa hormat. Rumah kami sama dengan rumah orang sekitar, sangat sederhana ber-dindingkan kayu dan berlantaikan semen yang kasar. Terletak persis di depan masjid, dan rupanya menjadi impian Ibu, dimanapun beliau berada, beliau selalu ingin tinggal di dekat masjid. Ibu memang suka menghabiskan malam dan subuh di masjid. Kalaupun di rumah beliau melakukan Tahajjud di sepertiga malam terakhir.
Ambon, 19 Januari 1999 ....Lebaran Tak Terlupakan...
Hari itu adalah hari yang sangat saya nantikan, pagi-pagi benar kami sudah bangun, mandi dan menggunakan pakaian baru dan bersih. Sholat Id kami tunaikan di depan rumah, bersalam-salaman dengansemua tetangga. Dan moment yang hampir ’tak bisa diungkapkan’ adalah ketika memohon maaf pada Ibu, ayah dan saudara dengan dada yang berguncang penuh sesak, menahan emosi dan air mata. Tapi Ibu selalu bilang, ’sejak kamu lahir Ref, mama selalu memaafkan apa yang kamu lakukan dan akan lakukan’. Tanpa kamu minta maaf pun Mama sudah memaafkanmu. Tak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali memeluk Ibu selama mungkin dan mencium pipi, kening dan rambutnya.
Setelah itu kami pun berangkat ke Kota Ambon, janjian dengan ayah yang berangkat dari Tawiri kemudian bersilaturahim dengan besan, saudara, handai taulan dan kerabat. Suasana pada hari itu memang beda dari biasanya. Berbeda dengan lebaran yang lalu, kali ini terlihat kosentrasi masa dimana-mana, disepanjang jalan Tulehu – Ambon. Bahkan kosentarasi masa itu menumpuk dan menimbulkan tanda tanya dalam diri saya sampai peristiwa itu terjadi. Fakta yang menguntungkan pada waktu itu adalah, ternyata terjadi perbedaan waktu shalat ied antara tulehu dan Ambon. Jika di Tulehu Ied dimulai jam 6 kurang dengan khotbah yang pendek. Di Masjid Al-Fatah Ambon, shalat ied dimulai jam 7 dengan khotbah yang cukup lama. Jadi ketika kami sekeluarga sampai di Kota Ambon, masih dalam keadaan shalat Ied, dan kami memutuskan parkir di depat masjid Al-Fatah sambil menunggu Ayah.
Tak berapa lama ketika sholat usai, atas permintaan Ibu kami langsung menuju ke rumah seorang besan di dekat Al-Fatah. Namun pada sat itulah tersiar khabar bahwa telah terjadi pembakaran dan amuk masa dimana-mana, hampir di deluruh penjuru kota dan desa. Kami terjebak di rumah mertua, dan hanya kami satu-satunya muslim disana karena selebihnya Kristen. Namun ’orang sekampung kristen’ itu melindungi Kami, dan meminta orang-orang Kristen yang lain tidak menyerang kami. Ketika suasana agak reda, Kami dijemput oleh segerombolan tentara dan diungsikan ke Masjid Al-Fatah. Betapa memerikan pemandangan sepanjang jalan. Penuh dengan mayat-mayat yang hampir semuanya muslim, mereka dalam keadaan masih menggunakan perlengkapan shalat, memeluk anaknya dan semuanya masih tergeletak hampir disepanjang lorong, jalan dan got. Hari ini Kota Ambon banjir darah, dan bau mayat ada dimana-mana, Anyir!. Jiwa saya sangat bergetar, dan yang terpikir, dimana Ayah? Dimana Ayah? Ibu berusaha tenang namun saya dan kakak sangat panik. Dan yang lebih panik lagi. Adik perempuan saya, Elida Yanti pada waktu itu dalam perjalanan Tulehu - Ambon. Saya berjalan disepanjang jalan kota, menyelusuri sepanjang jalan, melihat setiap jenazah di kamar jenazah, membalikan yang tergeletak di jalan dengan seksama, bergetar dan berharap tidak ada ayah dan adik peremuan saya diantara jenazah-jenazah itu. Lelah, panik dan pasrah, namun tak ada pilihan kecuali mencari jawaban tentang kepastian kondisi ayah dan adik, karena ketika dihubungi per telepon ke rumah tak ada jawaban.
Rupanya ’keadaan tenang’ pada hari itu hanya berlangsung sesaat. Siang itu meletus kerusuhan yang jauh lebih besar, dan saya berlari ke mesjid menemui Ibu. Dan Alhamdulillah bersama Ibu adik perempuan saya telah ada bersama beliau. Saya menangis karenanya dan kini tugas saya hanyalah mencari tahu keadaan Ayah. Namun kondisi yang genting memaksa saya untuk tidak dapat melakukan apa-apa, kecuali tetap di Masjid Al-Fatah, melindungi Ibu dan adik perempuan saya. Malam itu keluar fatwa Jihad dari Majelis Ulama Indonesia Ambon dan Imam Besar Masjid Raya Al-Fatah. Jadi diwajibkan bagi setiap laki-laki untuk berjihad, karena telah terjadi penyerangan dan saling serang hampir diseluruh penjuru. Pada waktu itu terlihat mayat begitu banyaknya digotong, ada yang hidup tapi dalam kondisi tidak utuh lagi. Ada yang tangannya terpotong, ada yang matanya terusuk dan bahkan ada yang gila karena kehilangan keluarga.
Malam itu, kali pertama saya menjadi manusia seutuhnya, belajar bertanggung jawab dan berperang. Ketika fatwa itu keluar, semua wanita dikumpulkan di tengah masjid, diluar berkumpul semua laki-laki tua dan muda, bersenjatakan apa saja dan siap berperang. Waktu itu saya memegang senjata berupa tombak besi, dan berpatroli keliling kota. Kadang harus berhadap-hadapan dengan segerombolan orang, bertempur tanpa rasa takut mati, karena Ibu-Ibu kami telah mengikhlaskan kami mati di jalan ALLAH. Setiap hari satu demi satu teman mati syahid, kering rasanya air mata ini menangis kehilangan. Pagi tadi kita baru shalat bersama, sahur bersama, siangnya sudah terdengar dia gugur di medan perang. Ada yang siangnya baru berpelukan dan bersalaman. Sejam kemudian dia mati dipelukan karena kehabisan darah karena tombak yang bersarang dipunggungnya.
Pada waktu itu, yang ada dalam pikiran saya hanyalah bertahan dan berjuang. Bukankah ini adalah kesempatan syahid di Jalan ALLAH? Semua teman-teman saya ketika dikuburkan tak lagi dimandikan, karena ALLAH telah memberikan mereka syurga. Dan saya melihat jelas, betapa syuhada itu mati dengan tersenyum, seakan-akan mereka telah melihat syurga seperti yang dijanjikan ALLAH. Setiap kembali ke masjid, saya lihat Ibu dalam keadaan berdoa, ruku dan sujud. Beliau selalu memberikan semangat untuk tidak pernah takut! JANGAN TAKUT REF! Bukankah ganjarannya sangat setimpal dijanjikan ALLAH? Jangan pikirkan Mama karena Demi ALLAH! Mama sangat ikhlas. Tak ada cita-cita yang lebih tinggi kecuali mati sebagai seorang syahid. Lalu adakah yang lebih mulia dari itu? Pada hari itu saya berbicara di hadapan ALLAH, bahwa jiwa dan raga saya telah saya pasrahkan padaNYA. Sejak itulah hampir setiap hari saya maju ke medan perang, bertempur membela keyakinan yang saya yakini. Namun ada sebuah catatan yang hingga kini masih tertoreh di hati, bahwa saya tidak pernah membenci manusia kecuali karena perilakunya. Dan saya tidak pernah membenci orang karena agamanya, karena sedari dulu saya tahu bahwa semua agama itu baik. Jadi perilaku seseorang tidak bisa diidentikkan dengan agama yang dia anut. Apa buktinya? Ketika terjebak di rumah keluarga besan, kami dilindungi oleh Kaum Kristen, Selamatnya adik saya juga karena dilindungi oleh sekelompok pemuda kristen bahkan mereka mengantarkan adik saya ke masjid, dan yang ketiga ayah saya di Tawiri yang notabene satu-satunya muslim di desa itu jiwa dan hartanya dijaga oleh Kalangan Kristen. Jadi apakah agama bisa mewakili perilaku? Mungkin tidak sepenuhnya benar.
Keajaiban – Kejaiban di Bulan Syawal
Banyak keajaiban dan keanehan yang saya alami. Pada setiap pertempuran bahkan berhadap-hadapan dengan musuh, saya selalu selamat seperti ada yang menjaga. Hal yang paling beratpun paling terluka di tangan dan punggung akibat sabetan parang. Namun tak seberapa sakitnya, dibanding apa yang saya lihat terjadi pada teman-teman lain yang syahid. makan yang saya makan pun dari sisi kelayakan dan hiegenis juga sangat buruk, dan lebih sering tidak makan karena saya lebih mengutamakan anak-anak dan perempuan. Adik perempuan saya turut berjuang, mempersiapkan segala seusatunya, bahkan maju ke medan tempur. Kami berdua sering makan makanan yang basi, bahkan kami tak jarang makan daun-daunan yang kami petik dari langsung dari pohonnya, bahkan bunga pun kami makan. Tapi inilah bagian kebesaran ALLAH. Kami berdua tak pernah sakit perut, bahkan tumbuh rasa saling menyayangi dan kesadaran persaudaraan yang begitu dalam hingga kini.
Banyak sekali keajaiban lain yang hingga kini masih menyisakan pertanyaan. Pada suatu saat, saya terbaring lelah di pelataran mesjid bersama adik perempuan saya. Tiba-tiba beduk berbunyi dan kumandang azan bergema, padahal waktu shalat belum masuk. Rupanya pada malam itu Masjid Al-Fatah diserang oleh beribu orang dari empat penjuru mata angin, dari darat dan laut. Pada hari itulah saya merasa bahwa itulah hari terakhir saya hidup didunia, mengingat keadaan yang lemah, dan jumlah musuh yang jauh lebih besar dengan peralatan yang lengkap. Dengan tombak ditangan, saya ciumi adik saya itu dan memintanya menemui Ibu, dan sampaikan pesan bahwa betapa saya sangat menyayangi beliau sebagai pesan terakhir. Malam itu saya maju ke barisan paling depan, tepat di depan pagar masjid bersama pemuda-pemuda berani lainnya. Dan dari dalam masjid, terdengar takbir bergemuruh membelah langit... Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...La Ilaha Illallahu Allah Akbar...Allahu Akbar Walillah Ilham... berulang bergema, bergemuruh yang menjadi mesiu bagi kami menghadapi musuh yang menyerang. Serangan malam itu sangat dasyat, mereka persis didepan Masjid, berusaha menaiki pagar menyerang penuh dendam, marah dan murka. Namun ketika semuanya ’berjuang pasrah’ menengadahkan tombak, parang atau apa saja, menahan serangan agar tak bisa menerobos hingga ke dalam Masjid yang berisikan perempuan-perempuan, diantara Ibu dan adik perempuan saya. Namun entah kenapa, tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya, semua penyerang itu tiba-tiba lari terbirit-birit seperti dikejar setan, dan saya terdiam masgul. Ada apa gerangan? Apakah ini taktik? Atau.....
Dari beberapa mereka yang tertangkap, terungkap bahwa mereka melihat beribu-ribu tentara berkuda berjubah putih mengelilingi Masjid dan balas menyerang mereka tanpa rasa takut dan pedang terhunus. Hampir seratus orang yang tertangkap berkata sama. Masya ALLAH, rupanya ALLAH telah menunaikan janjinya, menurunkan bala tentara dari langit. Keajaiban lain yang tidak terlupakan adalah ketika tiba-tiba dari kejauhan saya melihat ada bola api yang sangat besar menuju ke Masjid, namun entah kenapa sebelum menyentuh Masjid, Bola api itu kembali keasalnya. Rupanya ALLAH benar-benar menjaga balatentaranya. Sejak itu saya tidak lagi pernah menjadi pengecut, dan tidak pernah mengenal rasa takut terhadap siapapun di dunia. Peristiwa demi peristiwa teah mengajarkan saya menjadi laki-laki pemberani.
Sahabat yang hilang....
Pada peristiwa itu, saya banyak sekali kehilangan sahabat yang selama ini mewarnai keseharian. Teman semasa kecil, teman semasa sekolah dan para handai taulan. Mereka gugur karena ulah sebagian manusia yang telah memicu peristiwa ini. Dua puluh tiga teman sekolah saya ketahui telah gugur dan ini belum termasuk yang tidak diketahui. Walaupun mereka telah tiada, namun kenangan mereka hidup bersama saya hingga kini dan nanti, sepanjang hidup! Diantara mereka ada dua nama yang baru saya dapatkan khabar beberapa bulan yang lalu, yang keduanya adalah sahabat baik saya, Yani Ekawati Moyodan Johana Lisapaly. Dua gadis cantik dan cerdas itu kini damai ’bercanda dan tertawa’ di sisi ALLAH. Semoga ALLAH mengampuni dosa-dosa mereka dan menerima semua amalan mereka, melapangkan kuburnya dan diberi tempat yang indah di surga. Amin.
Hingga kini saya masih mencari khabar tentang sahabat-sahabat saya yang lain, Salmon Haumahu, Yakob Wattimena, Peter Sahupala, Yakobus, Novaro, Irfan, Budi Titiono, Bilhan Alfredo Elsafan Pattikawa, Elok Kusumo, Hamid, La Ode On Zainal Arifin, Rasyid Kadir, Muhammad Ilham, Syarifah Faradilla Binti Thahir, Heldrik, Deddy Rinsampessy, Simon Simau, Andi Fredriksz, Berly Senapati, Wihelmina Lodrigus, Barbara Lodrigus, Petrus Elake, Amshar Bakhtiar, Apri Imam Supi’i dan teman-teman lain yang tak bis asaya sebutkan satu persatu. Apakah mereka adalah salah satu diantara member milist ini? Ataukah anda mengenal mereka? Sungguh betapa rindu saya pada mereka.
Jodoh itu ditangan ALLAH, Ref...
Ketika di SMA dulu, saya begitu mencintai seorang gadis. Dia wanita yang sholeh lagi cerdas, selalu menduduki rangking pertama di kelas Fisika. Saya begitu mencintainya, demikian pun sebaliknya. Ketika akan kuliah dulu, saya berjanji ketika tiba waktunya saya akan menikahinya, menjadi Ibu dari anak-anak saya, dan wanita yang akan mengantarkan saya ke syurga. Dia adalah gadis paling cantik sekaligus paling cerdas di sekolah. Pujaaan hampir semua laki-laki, dan diantara semua laki-laki saya adalah yang paling beruntung bisa beroleh kasih dan cintanya. Setiap pulang liburan ke ambon, saya selalu singgah ke rumahnya melepas rindu. Ayahnya sangat menyayangi saya, pun Ibunya. Mereka bahkan berharap agar kami segera menikah, namun saya mmemberikan jaminan pada keluarganya bahwa kelak ketika sudah ada kemampuan dan usai kuliah, saya akan melamarnya.
Waktu berlalu, ketika kerusuhan hingga pasca kerusuhan, saya kehilangan kontak dengan dia. Rumahnya porak poranda terbakar, dan keberadaan mereka tak tau rimbanya. Apakah telah tiada atau sedang berada dimana. Tak kenal lelah saya mencari khabar tentangnya, lewat semua kenalan, teman yang tersisa, bahkan lewat radio. Putus asa rasanya, hingga suatu hari ada yang meyakinkan saya, bahwa jika memang jodoh pasti ALLAH akan pertemukan, dan jika itu hak saya, maka ALLAH akan mengembalikan hak-hak itu. Sejak saat itu saya hanya menanti, rasanya tak ada wanita satupun yang bisa menggantikan dia di hati saya, bahkan hingga kini!.
Untuk menghabiskan waktu dan mencari pekerjaan sampingan, karena pada saat itu saya meminta Ibu tidak lagi memikirkan uang buat saya, karena saya akan berusaha mencari sendiri. Saya bekerja sebagai pelayan di cafe-cafe di Bogor, menjadi tenaga penjual di sebuah toko komputer, dan mengajarkan les fisika-kimia-matematika buat anak SMU. Lumayanlah, jika ditambahkan dengan beasiswa, Alhamdulillah lebih dari cukup. Dan tak lupa saya kirimkan Ibu, yang telah menjadi Inspirasi hidup utama dalam hidup saya, disamping sang pujaan hati.
Mungkin sudah menjadi suratan takdir, ketika saya sudah bisa melupakannya, terjadi sebuah keajaiban. Suatu ketika, 5 tahun pasca kerusuhan, saya sedang mencari sebuah buka di Kampus IPB Baranangsiang. Di kampus itu ada sebuah tempat yang sangat populer sebagai DPR (Dibawah Pohon Rindang) tempat mahasiswa bercengkrama dan membeli buku bajakan ’dengan harga terjangkau’. Ketika saya sedang ’membaca buku yang dicari’ tiba-tiba ada suara lembut menyapa persis disamping saya...Ref...ini Iref bukan?. Semula saya abaikan karena memang sudah tak asing dimana-mana orang menyapa saya di kampus (Narsist Bgt!!) karena memang saya cukup populer di IPB. Namun entah kenapa hati ini bergetar kencang, dan sepertinya ’sangat mengenal’ suara itu. Dengan ragu saya meoleh ke samping, dan disana berdiri seorang gadis berjilbab panjang, dengan rona wajah yang cantik merona, sholehah dan cerdas.
Antara percaya dan tidak, saya berteriak kaget. Rupanya dia adalah perempuan yang selama lima tahun saya cari-cari, karena memang saya mencintainya. Tanpa pikir panjang saya tarik tanggannya dan membawanya ke sebuah tempat yang nyaman. Tak henti-hentinya air mata ini mengalir karena rindu dan cinta yang lama terpendam. Begitupun dia, sepertinya dia pun selalu mencari saya selama lima tahun itu. Kami bercerita sangat lama, namun saya hampir tak percaya, ketika dia bilang bahwa besok pagi dia akan menikah di masjid Al-Huriyah, Kampus IPB darmaga Bogor, dengan seorang pemuda Sumba. Saya menangis dan nyaris putus asa. Namun, dia menggenggam tangan saya dan berkata bahwa Jodoh itu sudah diatur dari langit, dan mungkin apa yang terjadi pada waktu itu sudah bagian dari skenario langit, dia berkata tetaplah mencinta sebagai sesama makhluk ALLAH. Dia meminta saya menghadiri pernikahannya besok pagi dan meminta saya menjadi saksi pernihkahan itu. Permintaan pertama saya kabulkan, namun yang kedua dengan berat hati tidak bisa, dan dia maklum. Keesokan harinya saya menghadiri pernikahan itu, namun tidak lama karena ’saya tidak tahan’. Namun lama kelamaan saya bisa menerima seutuhnya keadaan ini. Cinta itu tidak selamanya memiliki.
Tafsir Al-Misbach Metro TV, 20 Oktober 2006
Acara sahur yang paling saya sukai adalah ’Tafsir Al-Misbah’ (nulisnya benar ga wan!) di Metro TV dan ’Jejak Rasul’ Trans TV. Tafsir Al-Misbah dibawakan oleh ahli tafsir terbaik yang dimiliki oleh negeri ini, dikenal dengan ketinggian pemahamannya tentang Al-Quran, kesederhanaan penyampaian dan sangat rendah hati. Prof Dr Quraish Shibab, seorang ulama dimana saya meletakkan kekaguman yang teramat tinggi dan dalam atas pengetahuan yang beliau miliki, terutama tentang penafsiran Al-Quran. Kalau boleh jujur, ketertarikan saya membaca dan mempelajari Al-Quran dan mendalami agama sangat dipengaruhi oleh ceramah beliau di berbagai media, dan buku-buku beliau yang saya baca. Salah satu yang selalu saya baca, bahkan berulang-ulang adalah LENTERA HATI. Sungguh buka itu telah merubah pemahaman saya tentang agama yang saya anut.
Suatu pagi Jumat, 20 Oktober 2006 seperti biasa saya duduk terpekur didepan televisi menonton tayangan yang spesial itu, memahami dengan kagum dan setiap ujaran Bapak Quraish Shihab selalu menjadi renungan. Pagi itu dibahas tentang Quran Surat Al-Baqarah tentang Zakat. Dalam bahasan pagi itu, yang juga merupakan penekanan dari ayat-ayat yang dibahas pada hari-hari sebelumnya, beliau menekankan bahwa ‘agama bukanlah faktor halangan bagi setiap muslim untuk beribadah, karena itu adalah urusan ALLAH. Bahkan beliau menyatakan bahwa umat selain muslim pun berhak beroleh zakat, jika memang mereka tidak mampu. Dan kita umat muslim wajib mengasihi setiap umat apapun agamanya, tidak menebar kebencian dan hidup dengan mereka penuh damai dan cinta. Indah bukan?
Mungkin inilah yang membedakan tentang penyampaian sebuah materi dari seorang yang ahli-menguasai dan orang yang ‘mengaku ahli’ padahal dia hanya mengetahui ‘sebagian kecil’ dari sebagian kecil. Analoginya sama kalau kita membaca sebuah buku terjemahan Manajemen Pemasaran. Secara pribadi saya lebih senang membaca buku apapun dalam bentuk original text dibanding terjemahan, karena membaca buku asli itu jauh lebih mudah dimengerti. Saya sangat sering menemukan ’banyak perbedaan penafsiran’ pada buku terjemahan, apalagi yang diterjemahkan oleh orang yang ’tidak memiliki keahlian sama sekali’ atau ’hanya memiliki sebagian keahlian dan pemahaman’ sehingga mereka menerjemahkan secara ’sesat’. Sangat disayangkan jika seorang pemasar pemula mengawali pengetahuannya dengan membaca buku terjemahan! Sekalian melatih kemampuan Bahasa Inggris. Jadi, sekali meregkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui khan?
Jadi banyak sekali orang ’dengan pemahaman sebagian’ bertebaran di muka bumi ini, dan mereka-mereka sangat mendominasi kehidupan, dan menjadi decision maker dimana-mana. Apalagi di negara seperti Brunai Darusalam, bahkan perkataan Sultan setara dengan undang-undang, maka tak adalagi yang mengingatkan, walau ’titah itu sesat’ maka jadilah sepanjang hayat pemerintahan ’sang sultan mereka melakukan ’kesalahan berjamaah’ dalam kurun waktu yang lama, dan kesalahan itu telah menemukan pembenaran, bahkan menjadi budaya di seantero negeri.
Maka, dapat saya tarik hipotesa pertama bahwa berbagai kejadian, kerusuhan, kesalahpahamanyang terjadi di negeri kita, dalam satu dekade terakhir ini, mungkin diakibatkan oleh ’segerombolan orang’ yang mempelajari agamanya dengan sepotong-sepotong, mencari pembenaran dan menerapkannya secara keliru. Saya sangat yakin, tidak satu agama pun, terutama Islam, yang membenarkan pembunuhan, dan penghilangan nyawa seseorang karena alasan yang tidak kuat? Jika alasan itu kuat, terutama karena fatwa ulama, seperti apa yang terjadi di Ambon 7 tahun yang lalu, maka ini ’dapat dibenarkan’ secara hukum peperangan dalam Islam, karena sudah ada korban yang jatuh, penyerangan, pembunuhan, perampasan, pemerkosaan dan penindasan pada salah satu ’golongan umat’ yang sedang merayakan Idul Fitri, sebuah hari kemanangan yang memang diperuntukkan bagi orang yang menang.
Diam itu Emas Ref.....
Andai saja ’peristiwa Ambon Kelabu’ itu tidak terjadi pada Idul Fitri, maka mungkin akan lain ceritanya, bahkan saya sangat yakin akan sangat sulit meyakinkan setiap orang, bahwa ini adalah masalah agama. Namun ’segelintir orang itu’ berhasil memanfaatkan keadaan, dan siapa mereka? Siapapun mereka, sungguh ALLAH telah menghitung setiap perbuatan itu dan diberikan azab yang setimpal.
Banyak sebenarnya cerita-cerita lain tentang ’peristiwa Ambon Kelabu’ itu, masih sangat banyak... namun saya khawatir makin lama, makin tidak proporsional, karena melibatkan emosi. Dan saya termasuk orang yang hingga kini memegang prinsip, bahwa jika dalam keadaan emosi, maka lebih baik diam. Demikian pun dalam mengambil keputusan, jangan dalam keadaan marah! Kaerena lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya.
Koreksi dari seorang pemasar......
Saya adalah seorang pemasar, namun lebih senang disebut sebagai seorang researcher. Sama halnya dengan ’pembenaran agama’ atas sebuah tindakan yang sesungguhnya tidak dapat dibenarkan, maka menjai seorang researcher adalah ’panggilan hidup’ bagi saya, karena ’terpanggil untuk beribadah’ meluruskan koridor-koridor riset yang selama ini menjadi ’ajang pembenaran’ bagi semua pemasar unruk mengambil keputusan, mengkaji ulang strategi, dan afiliasi akhir pada segala tindakan, implementasi pada total aktivitas yang berkaitan dengan produk di lapangan. Ketika menjadi researcher di sebuah PMA (beverage) saya sangat banyak menemukan bahwa riset-riset yang dilakukan oleh sebagian besar lembaga riset di negeri kita, lebih cenderung ’mencari pembenaran’ dan selalu mengambil ’cara-cara aman’ untuk tujuan bisnis dan memuaskan perusahaan pelanggan. Namun bagi saya, riset pada sebuah perusahaan adalah ’sangat vital dan strategis’ karena nasib sebuah perusahaan sangat bergantung pada pekerjaan-pekerjaan riset, yang tentunya akan menjadi ’layar kapal’ yang akan membawa perusahaan itu ke laut yang tenang.
Kembali ke bahasan awal. Lalu, apa yang terjadi dengan kehidupan beragama kita? Saya termasuk orang yang prihatin dengan berbagai perkembangan Islam di Indonesia. Sangat banyak ’kegiatan Islam’ yang cenderung ’mencari pembenaran’, ’bersifat riya’ dan mungkin lebih banyak mudaharatnya daripada ma’rifatnya. Lihatlah fenomena muncul akhir-akhir ini dalam aktivitas dakwah Islam. Kalau dulu menjadi dokter dan insinyur adalah cita-cita dengan ’Best Top of Mind’ maka sekarang hampir mungkin cita-cita menjadi ’Dai’ atau ’Mendadak Ulama adalah harapan hampir setiap orang. Maka bermunculan lah banyak sekali ’Dai Populis’ yang ketika dia berceramah, orang lebih menikmati ’keahlian dia berceramah’ dibanding materi yang diceramahkan. Bahkan bisa diduga, kemungkinan mereka hanya menikmati ’retorika sang Dai’ tanpa tahu sama sekali apa yang disampaikan. Menyedihkan bukan?
Lihatlah lagi ’aktivitas-aktivitas Riya’ di Televisi, ajang pencarian dai berbakat, dai cilik, bahkan ’sebuah reality show pembangunan masjid’ bukankah ini adalah hal-hal yang sebetulnya RIYA? Sebuah ibadah akan hilang pahalanya, bahkan kemungkinan malah berdosa, jika ibadah itu tidak karena ALLAH. Namun lebih karena tujuan-tujuan ’ingin populer’ dan bahkan menjadi Dai saat ini lebih dikarenakan ’unsur harta’ daripada pengabdian. Cobalah lihat sinetron yang sedang in di bulan ramadhan ini, Hidayah dsbnya. Thema yang dibawakan mengajak orang untuk kembali ke jalan yang lurus. Namun coba perhatikan dan simak alur ceritanya, maka dapat saya duga bahwa alur ceritanya ’sangat dibuat-buat’ bahkan tidak ada hikmah yang kita peroleh dengan menonton sinetron-sinetron itu. Bagaimana bisa? Lah... Bagaimana mungkin bisa dapat hikmah, jika ’keluarga sholeh yang diperankan’, ’peran suami-istri’ diperankan oleh ’mereka yang bukan muhrim? Lihatlah merteka berpelukan, berciuman bahkan tidur seranjang, padahal mereka bukan muhrim! Bukankah yang kita lakukan ini dapat memancing kemarahan ALLAH? Atau memang kita sedang membuka front ’menantang ALLAH’?
Mungkin krisis yang berkepanjangan di negeri ini adalah akibat dari perbuatan kita sendiri, yang tidak pernah bersyukur. Kita melalaikan apa yang menjadi Hak-Hak ALLAH, kita mengabaikan perintahNYA dan mengerjakan laranganNYA, menjadikan kewajiban sebagai hak dan menjadikan hak sebagai kewajiban. Menyedihkan memang, di negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia, seharusnya bangsa kita adalah bangsa yang paling besar diberi Rahmat oleh ALLAH. Namun adalah sebuah fenomena, bahwa kita adalah negara yang kuantitas muslimnya terbesar namun tidak dengan kualitas.
Sudah saatnya kita mengembalikan semua yang ada ke posisi semula, mengembalikan apa yang menjadi Hak-Hak ALLAH, dan berhubungan dengan sesama makhluk dengan lebih tulus. Jangan lagi kita mengukur semuanya dengan Uang, percayalah ALLAH akan ganti semua kerugian kita di dunia dengan kebahagiaan di akhirat. Sebuah transaksi yahng hebat bukan?
Pesan Terakhir.....
Saya pamit menjemput Ibu ke Padang dan pulang ke Ambon. Melepas rindu, bertemu teman-teman dan tetangga yang selama ini menjaga rumah kami. Saya sangat mencinta semua orrang, apapun agamanya dan apapun keadaannya. Karena saya sangat yakin bahwa agama apapun tidak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk. Kalaupun itu ada, maka itu penuh karena akhlak manusianya. Cukup ALLAH yang tahu dan menilai hal ini, karena sebagai manusia kita tidak memiliki hak mengadili sesama manusia.
Saya berencana beriarah ke makam ayah, membersihkannya, dan berdoa didepan pusaranya. Orang yang begitu saya cintai dan rindukan hingga kini. Penyesalan saya hanyalah belum sempat membahagiakan beliau di dunia. Mudah-mudahan ada waktu di akhirat kelak.
Saya juga rindu pada deburan ombak Laut Banda, rindu makan ikan bakar, udang goreng. Berbincang dengan masyarakat yang baru pulang melaut, bertemu gadis-gadis kecil yang ketika saya datang mereka berteriak-teriak gembira embari berujar..Om Irep pulang....Om Irep pulang!!! Rupanya keponakan saya di Ambon lebih dari seratus orang! Hehehehe, luar biasa!
Saya rindu pada semerbak bau laut, bau cengkeh dan aroma kayu manis di pulau yang sangat permai ini. Rindu menyelusuri jalan, yang kiri-kanan adalah hamparan pemandangan yang indah. Suatu waktu, kita ramai-ramai kesana berdarmawisata , dan saya akan jadi pemandu yang baik dan saya jamin perjalanan itu akan sangat menyenangkan dan aman.
Kita akan bermain ke Pulau Banda, dan menyelam disana. Anda akan melihat hasil karya ALLAH yang maha indah, sebuah keindahan terumbu karang yang konon terbaik di dunia. Anda bisa berenang dengan kura-kura raksasa, dan berpacu cepat dengan lumba-lumba. Kita akan awali melihat matahari terbit merona merah di Timur, dan kita akhiri ketika raja siang itu tenggelam di Barat. Saya yakin, anda semua pasti akan merindukan suasana itu dan ingi mengulang kembali.

Bogor, 21 Oktober (Ramadhan) 2006