4G Marketing

Bulan Maret ini dan bahkan mungkin tahun ini, tiada berita lain yang lebih menghebohkan selain pembelian 40% saham PT HM Sampoerna Tbk. (HMS), oleh Philip Morris senilai Rp 18,6 triliun. Banyak yang bertanya-tanya tentang penjualan ini karena selama ini kinerja HMS cukup meyakinkan. HMS yang tahun ini memasuki usia ke-92 serta generasi keempat Keluarga Sampoerna - Liem Seeng Tee, generasi kedua Aga Sampoerna, generasi ketiga Putera Sampoerna dan generasi keempat Michael Sampoerna - bukanlah perusahaan biasa, melainkan perusahaan keluarga yang telah menjadi panutan banyak perusahaan di Indonesia.
Bagi saya sebagai orang pemasaran, keberhasilan HMS menjual sahamnya premium 20% di atas harga pasar menunjukkan bagaimana investasi merek akhirnya membuahkan hasil. Banyak yang tidak mengetahui bagaimana Putera Sampoerna sudah mulai berpikir tentang membangun merek di akhir 1980-an saat pemasar di Indonesia dan bahkan dunia masih belum berbicara tentang merek.
Sejak akhir 1980-an, Putera mengubah HMS dari perusahaan manufacturing-driven menjadi perusahaan market-driven. Di sini ia merintis beberapa langkah terobosan: membangun ekuitas merek Sampoerna sebagai merek korporat serta mengembangkan portofolio merek HMS dengan strategi branding yang sistematis dan sistem distribusi yang solid.
Lihat saja, bagaimana Putera membenahi saluran distribusinya dan tak tergantung lagi pada agen. Upaya merombak sistem distribusi lama HMS dengan menghilangkan agen dar i rantai distribusi dan kemudian menggantinya dengan sistem distribusi yang dibangun dan dimiliki perusahaan sendiri. Rasanya sulit sekali, bahkan tidak mungkin, HMS akan mampu menjalankan strategi market-driven tanpa dukungan sistem distribusi yang solid. Ambil contoh A Mild. Rasanya mustahil rokok yang diluncurkan tahun 1989 ini mampu menuai sukses seperti sekarang tanpa dukungan ketersediaan produk yang tersebar luas di seluruh Tanah Air; aktivitas merchandising yang sangat agresif di gerai-gerai; juga aktivitas staf pemasaran lapangan yang terus memantau perilaku konsumen dan manuver pesaing.
Bahkan, pada pertengahan 1980-an Putera telah merintis program yang secara sistematis diarahkan untuk membangun merek korporat dengan membentuk Marching Band Sampoerna. Puncak kampanye corporate branding ini adalah saat Marching Band Sampoerna tampil sebagai kelompok pertama dari Indonesia pada perayaan Tahun Baru, parade Tournament of Roses di Pasadena, Kalifornia. Tidak tanggung-tanggung, sekitar US$ 1 juta dikeluarkan untuk membentuk marching band ini. Tujuan kampanye yang dinamai ‘The Band is the Brand’ ini adalah untuk mendongkrak ekuitas merek Sampoerna, mengingat waktu itu konsumen lebih mengenal merek Dji Sam Soe ketimbang Sampoerna. Tujuan yang lain adalah mempersiapkan HMS melenggang di bursa saham. Untuk sukses di bursa saham, perusahaan tak cukup hanya membangun merek produk, yang justru lebih penting adalah merek korporat dan kredibilitas korporat.
Putera ternyata adalah seorang brand builder yang piawai. Setelah kampanye corporate branding ‘The Band is the Brand’ menuai sukses, ia memanfaatkan momentum kesuksesan ini untuk memulai kampanye branding yang lain, yaitu product branding, terutama untuk produk A Mild yang meluncur di pasar tahun1989. Pada saat pendirian marching band tersebut, saya yang masih bekerja di HMS sebagai Direktur Distribusi dan teman-teman terus terang tidak habis pikir, buat apa perusahaan menghabiskan uang sebanyak itu untuk pembentukan dan pengiriman marching band. ‘Apakah ini bukan pemborosan?’ Begitu kira-kira pertanyaan yang ada di benak kami. Namun, Putera justru mengatakan, ‘It's the cheapest way to build our corporate brand.’
Dan Maret ini akhirnya perkataan Putera terbukti, investasi merek yang dilakukan HMS menghasilkan harga premium 20% di atas harga pasar. Melihat perjalanan HMS yang luar biasa dan layak menjadi panutan bagi pemilik merek di Indonesia ini, akhirnya saya pun tergerak untuk menuliskan berbagai rahasia dan resep di balik semua fenonema merek HMS tersebut dalam buku yang saya beri judul 4G Marketing - A 90-year Journey of Creating Everlasting Brands.
Berbagai resep sukses HMS ini seharusnya dapat menjadi inspirasi bagi pemilik merek di Indonesia, khususnya Grup Martha Tilaar (GMT) yang memperkenalkan konsep direct selling dengan merek Thalia-nya. Thalia Direct Selling (TDS) yang akhirnya juga menjual produk GMT lainnya menunjukkan bagaimana perusahaan ini mencoba menguasai sistem distribusinya, tetapi itu saja jelas tidak cukup.
Putera memberikan contoh bagaimana investasi merek justru berperan penting dan akan sangat membantu untuk mengeluarkan merek produk yang baru. Pergerakan GMT dengan TDS-nya merupakan manuver yang cerdik. Yang justru harus difokuskan di masa mendatang adalah bagaimana TDS bisa menjadi brand channel untuk membangun merek GMT sehingga bukan hanya menjadi jalur distribusi alternatif, tetapi justru juga menjadi bagian dari investasi merek GMT yang akhirnya dapat menghindari kanibalisasi seperti yang banyak dikhawatirkan.
Masih tidak percaya dengan merek sebagai value indicator Anda? Membangun everlasting brand seperti yang dilakukan HMS memang tidak mudah. Belajarlah dari rahasia sukses HMS yang saya sebut sebagai 4G Marketing yang akhirnya menghasilkan harga premium tersebut.
Pustaka :
Hermawan Kertajaya dalam Refrinal. 2006. 4G Marketing dalam Marketing for Decision Maker. Kumpulan Artkel dan Kliping. Field Survey Indonesia. Jakarta
Suatu kehidupan yang penuh kesalahan tak hanya lebih berharga namun juga lebih berguna dibandingkan hidup tanpa melakukan apapun
George Bernard Shaw