Politik Kemiskinan dan Strategi Pemiskinan

Dalam dua pekan terakhir ini seorang teman saya sangat sibuk mengikuti rapat-rapat dengan BPH Migas untuk membicarakan berbagai kajian dan persiapan untuk pemberlakukan pembatasan penggunaan BBM yang menurut rencana akan efektif diterapkan pada bulan Juni tahun ini. Kebijakan baru pemerintah berupa pembatasan penggunaan BBM untuk kendaraan sebesar 10 liter per mobil per hari dan setiap kelebihan penggunaan akan dikenakan tarif tanpa subsidi dengan harga Rp 7.500,-/liter. Menurut pemerintah kebijakan ini diambil sebagai tindakan subtitusi/pengalihan subsidi BBM sebesar Rp 10 Triliun untuk mengendalikan harga pangan yang cenderung terus melambung.
Jika ditilik lebih dalam dengan mencermati perilaku pemerintah dibawah komando Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla dalam membangun perekonomian bangsa ini, hampir terlihat kinerja yang sama sekali tidak populer, gemar menaikkan harga dan berorientasi jangka pendek. Dan inline dengan hal itu, dalam berbagai catatan saya berani menduga bahwa pemerintah yang berkuasa saat ini merupakan pemerintah yang paling tidak populer dibandingkan presiden-presiden terdahulu, Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri. Bahkan jika dibandingkan dengan pemerintahan orde baru sekalipun, maka sangat bisa dikatakan tidak terbandingkan!. Dimasa Soeharto berkuasa, terlepas dari apapun yang beliau lakukan, hampir semua orang terutama rakyat yang pernah merasakan hidup dibawah pemerintahan beliau selama 32 tahun sepakat, bahwa dimasa itu kemakmuran dari berbagai sisi sangat terasa, harga-harga sangat terkendali, keamanan begitu terjaga, bahkan negri kita pernah dinyakan sebagai salah satu negeri paling aman di dunia, disamping memperoleh penghargaan dari FAO sebagai negara yang mampu menghidupi dan mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Luar biasa bukan? Dimasa ini, dimasa pemerintahan yang dipilih melalui pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah bangsa negeri ini, kita bertubi tubi didera kenaikan berbagai macam harga, terutama pangan dan bahan bakar. Kebijakkan pemerintah yang membuat rakyat untuk menggunakan elpiji juga bagaikan perngkap yang semakin memiskinkan, walau tidak sepenuhnya dapat dikatakan gagal. Apalagi seiring dengan munculnya rencana untuk menaikkan harga elpiji oleh pertamina dan listrik oleh PLN. Maka mungkin bisa diterima bahwa jumlah orang miskin di negeri kita akan semakin banyak dan meningkat. Apakah ini adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah demokrasi? Atau apakah ini adalah bagian dari konsekuensi yang harus kita tanggung karena memilih secara demokratis? Kalau memang benar, maka harga yang harus kita bayar sungguh mahal! Bahkan terlalu mahal!
Berdasarkan laporan yang snagat dapat dipercaya, yang kemudian banyak dirilis oleh berbagai sumber baik media cetak maupun elektronik menyatakan bahwa hingga tahun 2008 hutang perkapita penduduk Indonesia sebesar IDR 5.000.000,-/orang. Jika penduduk Indonesia hingga tahun 2008 sebesar 220 Juta, maka besar hutang bangsa ini kepada bangsa lain sebesar IDR 1.100 Triliun! namun jika dikaji lebih jauh lebih jauh dengan memasukkan komponen hutang masyarakat kepada berbagai perusahaan asing sebagai akibat dari fenomena kredit kendaraan bermotor, kredit rumah, akumulasi penggunaan kartu kredit, kredit tanpa agunan dll sebagai variable dari hutang, maka nilainya tentu akan berlipat lipat. Merupakan sebuah fenomena dan merupakan kenyataan yang terpapar jelas mendekati kebenaran bahwa selain memiliki beban hutang perkapita akibat ulah negara' maka hampir sulit mencari manusia indonesia yang tidak berhutang akibat 'ulah sendiri'
Pemerintah saat ini pun cenderung menutup mata dengan kondisi yang ada, dengan mencari pembenaran-pembenaran atas kebiijakan yang mencekik itu, dengan mengatasnamakan rakyat yang dulu memilih pemimpin secara demokratis. Lalu apa yang dengan negeri ini? Kenapa harga beras, terigu, kedelai, BBM, elpiji, minyak tanah, minyak kelapa, dll meroket tak terkendali? Apa saja kerja pemerintah ini? Apakah sebgitu mahalkan harga yang harus dibayar rakyat sebagai konsekuensi memilih seorang pemimpin seperti saat ini? Jika harga yang naik itu hanya terigu, atau jagung, atau kedelai dan kebutuhan sekunder lainnya maka hal ini masih bisa dimengerti. Akan tetapi lain halnya namun pemerintah menaikkan harga BBM, elpiji dan minyak tanah yang memiliki efek multiplier terhadap seluruh sendi kehidupan maka mungkin sungguh keterlaluan!
Kenaikan harga bahan bakar akan memicu kenaikan harga-harga diseluruh sektor terutama barang dan jasa. Kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya industri dalam negeri yang berakibat pada kenaikan harga-harga secara signifikan, yang berakibat pada penurunan daya beli masyarakat pada jangka pendek dan penurunan kualitas hidup masyarakat (kemiskinan) pada jangka panjang. Jika ditambah dengan penghapusan subsidi minyak tanah sebagai strategi untuk memaksa masyarakat kelas menengah kebawah menggunakan elpiji dan kemudian ternyata elpiji tersebut langka dipasaran dan juga harganya melambung, lalu apa namanya kalau tidak dinamakan sebagai strategi pemiskinan masyarakat.
Wakil presiden kita cenderung menggunakan data BPS peningkatan pertumbuhan masyarakat (dalam persen) sebagai indikator dan berkali-kali menyatakan tanpa beban bahwa merupakan sebuah kebohongan jika jumlah orang miskin semakin meningkat karena diatas kertas memang terjadi peningkatan pendapatan masyarakat (dalam persen). Namun jika pemerintah sedikit mau berkaca dan sedikit jujur mengakui, maka sesungguhnya memang angka kemiskinan di negeri ini cenderung meningkat. Apa buktinya? Cobalah kita telaah bukti-bukti real yang ada di depan mata kita. Kenaikan harga-harga secara parsial secara absolout tentunya akan meningkatkan pengeluaran masyarakat dan menurunnya daya beli terutama untuk kebutuhan primer (sembako), apalagi barang sekunder. Namun sayangnya kegemaran pemerintah kita menaikkan harga-harga barang strategis tadi tidak diikuti dengan kemampuan meningkatkan indikator-indikator kesejahteraan masyarakat. Jadi apalah artinya jika pendapatan masyarakat meningkat secara kuantitatif, namun secara kualitatif ternyata menurun karena faktanya peningkatan pendapatan itu jauh lebih rendah daripada inflasi?
Masyarakat sebenarnya menjadi tumbal dari sebuah demokrasi dan semua kemunduran ekonomi tersebut diberlakukan atas nama rakyat! Cobalah menoleh sejenak aktivitas pemerintahan kita yang memang melakukan berbagai kebijakan yang sifatnya jangka pendek dan kalaupun populis hanyalah terpapar seumur pemerintahan. Kita tidak pernah mau membuka mata untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara komprehensif. Ibaratnya pemerintah terus-terusan mengepel lantai yang basah akibat atap rumah yang bocor, dan terus mengepel tanpa mau memperbaiki atap yang bocor tersebut menjadi permanen.
Negeri ini adalah negeri yang subur dan makmur, namun anehnya kita adalah negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Beras yang kita makan, kedelai yang selama ini diolah menjadi tempe dan tahu bahkan susu kedelai, gandum, dan lainnya semuanya adalah produk impor. Dan beras yang kita impor itu berasal dari negara yang luasnya hanya seperdelapan dari luasnya negeri kita, namun penduduknya sepertiga dari penduduk kita, Vietnam! Hampir tak ada produk yang kita hasilkan kecuali puas menjadi negara pengimpor terbesar di dunia. Kalaupun ada yang kita ekspor produknya adalah manusia yang kemudian menjadi pembantu di negeri orang, diperkosa, diperhinakan bahkan terbunuh sia-sia sebagai pahlawan devisa. Padahal jika kita mau memaksimalkan pemanfaatan lahan-lahan pertanian, memberlakukan peraturan pembatasan kepemilikan tanah untuk menghindari penguasaan tanah yang membabi buta sehingga tidak produktif, membuat peraturan penetapan harga pangan produksi dalam negeri yang memihak pada petani, dan lain-lainnya maka berjuta-juta lapangan kerja bisa diciptakan, dan jika pemerintah bisa melakukan ini dengan memberdayakan berbagai lembaga penelitian untuk menghasilkan varietas unggul pertanian, yang nantinya akan menghasilkan produk berkualitas tinggi, kuantitas produksinya berlipat dan masa panennya pendek.
Demikianpun dengan minyak bumi, kita adalah negara penghasil minyak dengan produksi berjuta barel per harinya. Dalam logika berfikir tentunya sebagai negara pengeskpor minyak jika terjadi kenaikan harga minyak dunia, seharusnya kita bertambah kaya seperti Venezuela, namun kenyataannya lebih dari separo kekayaan minyak kita dieksplorasi oleh asing seperti exxonmobile dan caltex dan sebagian besar bahkan seluruhnya diangkut ke negaranya. Dan sebagian kecil yang dikelola oleh pertamina menurut pembicaraan yang luas diekpor kenegara yang mampu mengolah minyak mentah menjadi bahan bakar siap pakai dan kemudian kita impor kembali. Bukankah ini sesuatu yang tragis?
Kita memiliki begitu besar sumber daya alam dan sumberdaya manusia. Idealnya sumberdaya manusia sebagai anak bangsa seharusnya dipersiapkan untuk menguasai teknologi yang bisa mengolah minyak tadi. Jika pemerintah mau konsisten dengan betul-betul mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan, maka pendidikan kita akan maju, menghasilkan tenaga-tenaga terdidik, terampil dan memiliki tanggung jawab moral sebagai anak bangsa. Namun sepertinya kita lebih senang negeri yang kaya ini dikelola oleh bangsa lain dan kita hanya mendapat hasil bagi hasil!
Jika saja alasan mendapatkan subtitusi dana subsidi sebesar 10 Triliun bisa dibenarkan, dan andai saja pemerintah bisa lebih concern menerapkan pengelolaan pemerintah yang bersih (good governance) maka sebenarnya hal ini tidak perlu menjadi alasan buat pemerintah untuk dijadikan pembenaran. Lupakanlah kasus-kasus korupsi yang merenggut bangsa ini, lupakan yang lain-lainnya, cukup dengan berupaya mengembalikan dana BLBI yang ratusan triliun itu maka pemerintah btidak perlu lagi menaikkan harga minyak selama 10 tahun! Dan selama 10 tahun paling kita bisa membuat masyarakat kita lebih tenang dan bisa tertidur pulas serta dapat melanjutkan hidup tanpa ada kekhawatiran besok harga akan naik dan kemudia mereka berspekulasi membeli dalam jumlah banyak, atau menimbun barang!
Tapi apapun kejadiannya, mungkin ini adalah resiko yang akan menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini, dan sebagai bangsa yang baik, kita harus tetap mendukung pemerintah ini dengan terus berpacu memberikan kontribusi bagi bangsa yang begitu kita cintai ini. Saya sungguh sangat yakin, generasi nanti akan lebih mampu menjawab berbagai tantangan dimasa nanti, mengelola sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya teknologi, menciptakan lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan memakmurkan bangsa ini menjadi bangsa yang gemah ripah lo jinawi!
Dimuat pada Harian Nasional Edisi 1 Mei 2008