Kurangi Explorasi

Penyakit yang akhir-akhir ini mewabah di seluruh dunia yang tak kalah pamornya dari flu burung adalah demam bola. Dari petinggi di kantor pusat sampai karyawan kontrak di bagian kebersihan terkena demam bola. Anehnya lagi, demam bola ini jauh lebih populer dibandingkan dengan event olah raga seakbar Olimpiade sekalipun. Tidak heran, banyak karyawan yang rela bergadang di pagi hari, apalagi saat akhir minggu, nongkrong di kafe untuk menonton plus sebagian “adu rezeki” skor bola. Bahkan, agar kelihatan up-to-date, banyak eksekutif yang tidak suka bola, harus ikut membaca berita bola agar bisa nyambung tatkala diskusi dengan teman kantor atau pelanggan di siang hari. Tak jarang, dua puluh menit pertama, diskusi dimulai dengan bola.
Pembahasan di ruang makan dan ruang rapat kadang-kadang lebih hangat dibandingkan dengan pembicaraan antara host dan resource person yang dipandang ahli di stasiun TV manakala siaran langsung ditayangkan. Karena, aspek pembicaraan bukan aspek teknis saja tapi sudah memasuki wilayah politik dan ideologi. Apa pun didiskusikan secara mendalam dan sangat eksploratif. Sebaliknya, di dinding sebelahnya, diskusi soal penjualan yang seret dalam lima bulan pertama tahun ini diselesaikan dalam waktu yang tak terlalu lama. Setiap bulan tatkala evaluasi hasil dibicarakan, alasan yang dikemukakan itu-itu saja, tidak menyentuh akar permasalahan. Diskusi berhenti pada pertanyaan“mengapa” satu kali. Tidak heran, para staf dan bawahan tidak mampu mengurai akar permasalahan secara mendalam karena toh petinggi akan puas berhenti pada “mengapa” yang kedua. Andaikan, semangat diskusi bola ini ada dalam diskusi evaluasi kerja, kajian dari banyak aspek dan masing-masing pihak menyiapkan diri sebagai evaluator dan komentator, karena harus berani bertaruh skor berapa pada pertandingan berikutnya, hasilnya tentu sangat lain.
Berhenti pada alasan pasarnya memang segitu; atau pesaing melakukan upaya banting harga karena persediaan mereka melimpah; atau peraturan pemerintah daerah tidak kondusif terhadap investor; atau semua masih wait and see – semuanya dianggap sebagai penjelasan titik dan bukan koma. Dalam bahasa Indra Lesmana, Titik D.J. dan Tri Utami sebagai komentator Indonesian Idol dan AFI 2006, petinggi sekarang persis seperti peserta kontes tersebut: kurang eksplorasi.
Kurang eksplorasi ini menyebabkan organisasi berpengetahuan sangat dangkal. Banyak perusahaan yang tidak mengenal pelanggannya secara mendalam. Banyak pula yang tidak mengerti how the industry is moving in the next two year. Akibatnya, bila terjadi hentakan teknologi, proses bisnis yang baru atau perubahan citrarasa dan kebutuhan pelanggan, banyak yang gulung tikar atau kalau pun hidup hanya jadi penonton yang rapuh. Kurang eksplorasi juga menyebabkan perusahaan mudah menyalahkan kondisi sekitar yang tidak kondusif. Mulai dari proteksi pemerintah yang kurang, hingga aspek upah dan kesejahteraan buruh yang selalu ditonjolkan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan mereka kehilangan daya saing. Blame other adalah cara pintas yang digali untuk mencoba membenarkan diri. Pertanyaannya, kenapa kurang eksplorasi ini menjadi semakin mewabah? Kedangkalan kebijakan karena kurangnya eksplorasi bukanlah suatu keadaan yang sebenarnya, melainkan lebih pada ketidakmauan untuk mengungkap yang harus diungkap, menuding yang harus dituding, dan membenarkan apa yang seharusnya dibenarkan. Semua kajian dan kebijakan akan dikeluarkan dengan perspektif asal aman, cepat dan populis. Keberanian mengungkap yang sebenarnya seperti saran Jim Collins dengan konsep brutal fact, menjadi semakin langka. Sebenarnya, ini adalah kondisi yang sangat mengerikan.
Fakta brutal adalah fakta yang harus digali dan ia lebih baik ketimbang mimpi. Bahwa Indonesia harus melepas keinginan untuk menjadi produsen kapal terbang, mobil, eletronik dan bahkan teknologi informasi (TI), harus diakui bila kondisi infrastruktur seperti ini. Lebih baik, “Kembalilah ke pertanian,” Burhanuddin Abdullah, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, menyerukan seruan yang eksploratif dan down to earth. Janganlah bermimpi menjadi India kedua buat praktisi TI dengan impian miliaran US$ ekspor tenaga ahli dan perangkat lunak kalau jumlah komputer per mahasiswa saja masih dalam kisaran dua digit. Jangan pula perusahaan Anda bermimpi menjadi pemimpin pasar di lima tahun mendatang, kalau mau merekrut management trainee serta alokasi anggaran pendidikan dan pengembangan masih merupakan urutan prioritas di bawah. Jangankan berpikir Blue Ocean Strategy, kalau untuk mendukung pelanggan yang ada saja baru sebatas pascajual, belum menyentuh ke prajual, dan total life time cost dari produk Anda.
Semua harus dimulai dari kegemaran eksplorasi, adanya rasa aman mengemukakan pertanyaan, dan memaparkan ide yang eksploratif. Tanpa kemauan, rasa aman serta pemaparan yang jujur dan bahkan dilindungi, maka kemampuan ini akan semakin menghilang. Ini adalah brutal fact produk pendidikan kita dibandingkan dengan sekolah “luar” semacam nasional plus dan internasional. Petinggi harus bisa menjadi motivator agar kondisi eksploratif ini ada di setiap lini. Bahkan harus ada sarana yang secara sistematis menumbuhkembangkan budaya ini secara serius. Kalau karyawan kita sangat eksploratif dan setiap paparan didahului dengan ask why five times dan data ditelusuri sampai ke brutal fact, saya yakin dalam jangka panjang organisasi Anda akan mantap dan mapan. Ini sebuah budaya yang sangat dan paling ditakuti oleh pesaing.
Pustaka :
Paulus Bambang WS dalam Refrinal. 2007. Kurangi Explorasi dalam Marketing for Decision Maker. Kumpulan Artikel dan Kliping. Field Survey Indonesia. Jakarta
Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum
Mahatma Gandhi